Tiga saran untuk pembelajaran secara Online

Kemarin (25 Mei 2020) Instagram dari Pers Mahasiswa UK Petra memposting gambar berikut ini:

Secara prinsip, saya setuju. Dosen ataupun guru sudah mengalami banyak kesusahan akibat Pandemi COVID-19 ini. Tetapi pada saat yang sama, harus diakui ada banyak juga pengajar yang tidak memberikan pengajaran yang baik secara online. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para pengajar, ada begitu banyak dosen yang melakukan pengajaran online dengan pedagogi yang sifatnya offline, tidak ideal, dan kuno. Meminjam istilah dari Theory U, mereka saya istilahkan sebagai dosen ‘server’.

Dalam kasus dosen ‘server’, mahasiswa tinggal ‘download’ pengetahuan dosen tersebut tanpa adanya sintesis atau eksplorasi dari pengetahuan tersebut. Pola mengajar utama dari dosen ‘server’ ini hanya mengutarakan masa lalu, baca PPT saja tanpa ada eksplorasi, dan tidak melihat ke depan. Dalam kasus ini, membaca buku diktat acuan ataupun PPT Handout mungkin bisa lebih bermanfaat karena penjelasan dosen ‘server’ tidak menambahkan apapun dari PPT. Tetapi harus diakui meski begitu, banyak mahasiswa yang sebenarnya ‘cocok’ dengan dosen ‘server’ ini. Karena mereka tidak suka membaca, mereka butuh kelas supaya ada yang ‘membacakan’ buku tersebut bagi mereka.

Membuat kelas online memerlukan konsep pedagogi yang baru. Saya selalu ingat perkataan Rektor dari ITHB Dr. Ir. Samuel Tarigan, M.B.A., kalau mau jualan online itu bukan cuma sekadar punya gerobak tahu bulat lalu dimasukkan ke Tokopedia. Perlu perubahan konsep supaya bisa sukses dalam online. Hal yang sama berlaku untuk pengajaran online.

Kita perlu melihat kelas pendidikan sebagai suatu ‘produk ekonomi’, di mana tindakan mengonsumsinya adalah suatu tindakan ekonomi yang rasional. Kalau materi kelas onlinenya menarik, mahasiswa akan tentu memilih untuk mengikuti kelas online tersebut. Popularitas dari edX, Youtube, dan pendidikanX lainnya menunjukkan bahwa ada permintaan akan pendidikan online yang bermutu. Ketika pelajar tidak mendengarkan pengajar di kelas, kita tidak bisa sekadar menyalahkan pelajarnya saja tetapi kita juga perlu memberikan burden/beban/perhatian kepada pengajarnya juga. Kalau ada usaha yang kurang laku, produknya yang di inspeksi dan di check, bukan pelanggannya. Konsumernya hanya melakukan pemilihan terbaik sesuai dengan produk yang ada. Singkatnya, nilai ekonomi dari mengikuti kelas online harus bisa menyaingi nilai ekonomi dari melihat YouTube atau memainkan mobile legend.

Saya memang bukanlah seorang Guru, atau seorang pengajar. Bahkan apabila saya menjadi pengajar, mungkin saya juga akan menjadi seperti para pengajar ‘server’. Tetapi sebagai konsumen pendidikan online (dari YouTube dan edX), saya ada beberapa hal yang saya amati dari pendidikan online yang baik. Sebagai konsumen, saya ada 3 saran bagi para produsen pendidikan supaya para konsumen lain dapat lebih tertarik dan lebih bisa mengonsumsi produksi anda.

1. Jangan sekadar menjadi server

"Kedua, pendidik di era revolusi industri 4.0 yang ditandai inovasi teknologi informasi-komunikasi supercepat nan disruptif tidak bisa bertahan dengan pola yang sama dengan era sebelumnya. Sebab, pada era ini, peran pendidik sebagai sumber informasi dan sumber teladan mendapat tantangan yang luar biasa besar. 

Sebagai sumber informasi, posisi pendidik sudah cenderung tergantikan oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Apalagi, tingkat literasi IT anak-anak muda bangsa ini lebih tinggi daripada pendidik dari generasi yang lebih tua. Konsekuensinya, pendidik tidak bisa memosisikan diri sebagai sumber informasi yang superdominan bagi peserta didik karena di luar dirinya sumber informasi itu sangat beragam dan cenderung lebih luas, canggih, komprehensif, serta mendalam.

Prof Akh. Muzakki, Jawa Pos – 10 Mei 2018

Sebelum era digital, pengetahuan cenderung terkonsentrasi di beberapa tempat atau orang saja. Apabila mau mencari tahu tentang sesuatu, seseorang perlu berpergian ke perpustakaan terdekat dan mencari buku yang mengandung informasi tersebut. Sekarang, lewat adanya Google dsb proses pencarian informasi bisa dilakukan sangat cepat.

Pengajar ‘server’ hanya memiliki nilai karena asimetris informasi ini. Karena adanya keterbatasan informasi, pengajar ‘server’ memiliki nilai sebagai sumber informasi. Tetapi seperti yang dibahas Prof. Muzakki, meningkatnya literasi IT membuat pengajar ‘server’ ini kehilangan nilai karena informasi yang diketahui oleh pengajar dapat dicari tahu dengan mudah oleh pelajar lewat internet, dan bahkan informasi yang didapatkan di internet bisa jauh lebih berkualitas dibandingkan dengan informasi yang dimiliki pengajar.

Terlebih lagi di era pembelajaran online pada saat pandemi seperti ini. Sebelumya, meski nilai yang didapatkan dari sifatnya sebagai ‘server’ sudah berkurang, pengajar ‘server’ masih memiliki nilai tambah dari keterbatasan geografi dan adanya bentuk interaksi fisik. Tetapi karena pandemi COVID-19, dua hal tersebut yang merupakan batu karang terakhir bagi para pengajar ‘server’ justru menjadi beban karena konsep di rumah aja.

Lalu, apakah sebagian besar pengajar akan menjadi obsolete (sudah kuno)? Apakah masa depan pendidikan akan di dominasi oleh sejumlah kecil pengajar yang mengajarkan kelas secara masif lewat internet? Saya rasa tidak, pengajar dalam jumlah besar masih diperlukan, tetapi tidak dalam bentuknya seperti sekarang yang murni sebagai ‘server’ melainkan sebagai pemandu, mentor, dan pencipta ilmu. Pengajar yang masih bersikukuh hanya bertindak sebagai ‘server’ akan sulit bertahan di era pendidikan online ini dan bisa ‘punah’. Pendidikan online sudah mereduksi nilai yang ada dari pengajar ‘server’ dan memunculkan ‘server-server’ lain yang lebih berkualitas.

Dalam era digital ini setiap pelajar memerlukan ‘mentor’ dan ‘pemandu’ untuk mengarungi lautan informasi yang ada. Eksplorasi yang salah dalam lautan informasi baru ini dapat berujung sia-sia dan menghabiskan banyak waktu, atau lebih parah lagi malah membuat memiliki konsep pengetahuan yang salah. Dalam lautan informasi, pengajar perlu memandu para pelajar dalam melakukan eksplorasi mandiri, sehingga proses pembelajaran mereka dapat dipercepat dan menghindari langkah-langkah yang tidak optimal (yang mungkin sudah dialami para pengajar terlebih dahulu).

Selain itu, meskipun informasi yang tersedia sudah banyak, masih ada kebutuhan untuk melakukan kontekstualisasi dan personalisasi akan informasi tersebut. Sebagai contoh, sebagian besar buku acuan terkait tanah dan penelitian akan tanah berasal dari Amerika Serikat lewat institusi-institusi seperti ASTM. Tetapi belum tentu kajian yang dilakukan di Amerika Serikat dapat berlaku 100% di Indonesia. Para pengajar lokal disini memiliki peran untuk melakukan kontekstualisasi akan materi tersebut (misal: menyambungkan teori yang ada dengan struktur tanah di Surabaya dan/atau ketersediaan SDA SDM lokal yang ada). Kontekstualisasi dan personalisasi ini dapat dilakukan dengan menceritakan pengalaman industri, pemaknaan pribadi, dan/atau melakukan riset akan hal-hal terbaru dalam bidang ilmunya. Singkatnya, pengetahuan yang dimiliki dosen bukan sekadar regurgitating tetapi juga merupakan hasil sintesis mandiri dari pengajar.

Inti dari pengajar yang bukan ‘server’ adalah pengajar mendorong para pelajar untuk melakukan eksplorasi akan pengetahuan dan bahkan melakukan sintesis pengetahuan. Sintesis pengetahuan ini bukan berarti bahwa para pengajar perlu membuat mahasiswanya mampu membuat jurnal terindeks internasional, tetapi setidaknya mampu menemukan pemaknaan akan pengetahuan itu secara mandiri dan komprehensif.

2. Kelas On-Demand

Ketika kita berbicara terkait konten online, satu hal yang akan terpikirkan adalah on-demand. Bisa mendapatkan konten yang diinginkan pada waktu apapun dan tempat manapun. Saya bisa membaca NYTimes pada waktu yang saya mau, memesan makanan dari restoran diseberang kota pada waktu yang saya mau, dan belanja online pada waktu yang saya mau. Pada zaman sekarang semua hal sudah hampir tersedia secara on-demand, atau waktu konsumsi ditentukan oleh konsumen dan bukan produsen.

Pada detik ini, saya dapat belajar tentang Sejarah Romawi Kuno di YouTube dan Filosofi Soren Kierkegaard dari Coursera Universitas Kopenhagen. Saya dapat memilih waktu di mana saya merasa ingin belajar materi tersebut dan dalam kondisi paling ideal untuk menyerap materi-materi tersebut.

Untuk membantu meningkatkan perhatian pelajar pada kelas, sebaiknya kelas online juga dibuat tersedia on-demand. Materi pengajaran / video seminar kelas tetap disediakan sehabis kelas berlangsung sehingga pelajar tidak wajib melihat secara langsung. Hal ini akan memudahkan akses bagi pelajar untuk mempelajari materi pada waktu yang paling ideal bagi dirinya. Pada waktu kelas offline, tentu hal tersebut tidak bisa dilakukan karena ada hambatan antara jam yang dimiliki pengajar dan jam yang dimiliki oleh para pelajar. Tetapi karena kelasnya sudah berbentuk digital, hambatan waktu offline tersebut sudah tidak ada.

3. Atomisasi Kelas

Dari beberapa kelas online yang saya ikuti di Youtube dan edX, ada satu pattern yang saya amati. Videonya tidak ada yang memiliki durasi puluhan menit atau berjam-jam langsung. Tetapi setiap video dari kelas dibagi menjadi seksi-seksi kecil yang berdurasi 5-10 menit. Hal ini, apabila tidak salah, disebut sebagai atomisasi pendidikan. Apa yang menjadi tujuan materi pembelajaran dari kelas yang sifatnya umum di break down menjadi unit-unit yang lebih kecil. Salah satu kelas favorit saya, Introduction to Probability oleh Prof. John Tsitsiklis menggunakan konsep tersebut. Dalam setiap kelasnya, videonya dibagi menjadi L01.1, L01.2, L02.1. LO1 menandakan lecture/Kelas ke 1, dan .1 menandakan bagian pertama. Prof. Tsitsiklis membagi kelasnya menjadi 8-10 video tiap lecture, dimana setiap video merupakan sebuah atom dari materi lecture.

Atomisasi ini bisa dibayangkan seperti ini. Ketika membuat kelas yang mengajarkan Matematika Tambah Kurang Kali Bagi. Bagilah sesi kelas anda menjadi sesi “Pertambahan” sendiri, “Pengurangan” sendiri, “Perkalian” sendiri dan “Pembagian” sendiri. Setiap materi pembelajaran dibagi menjadi materi-materi terkecil yang bisa diajarkan. Materi-materi tersebut juga disusun secara kronologis dan tertata. Sebenarnya dalam kelas offline, sebenarnya atomisasi materi juga sudah dilakukan lewat RPP, dimana materi diatomkan ke tingkat pertemuan. Di kelas kelas online, untuk melakukan atomisasi, RPP dapat disusun dengan tingkat per konsep. Batasan utamanya bukan lagi waktu, tetapi memang susunan logis dari materi yang diajarkan.

Pengalaman pribadi dari salah satu video saya di Youtube. Dari total lama video 3 menit, para viewer hanya menonton 1:22 menit saja.

Apabila anda merekam kuliah anda lewat YouTube (atau program lain yang menyediakan big data analytics), anda dapat melihat bahwa banyak orang tidak menonton video sampai habis. Dan rata-rata dari lama video yang dilihat bisa berbeda jauh dengan total lama video. Lewat melakukan atomisasi pembelajaran ke tingkat konsep, video-video kelas dapat dibuat dengan durasi yang lebih pendek yang memiliki kemungkinan lebih besar untuk ditonton/diserap dengan lebih baik. Perlu di ingat bahwa atomisasi video bukan berarti memangkas total waktu durasi kelas, tetapi membagi waktu pembelajaran ke sesi-sesi yang lebih pendek. Bisa jadi kelas yang disusun secara atom memiliki waktu yang durasi total yang lebih lama karena adanya overhead tambahan.

Pada Januari 2020 lalu, MIT Technology Review mengeluarkan artikel terkait Pendidikan Online berbasis AI di Tiongkok. Ada satu kutipan yang saya catat dan beberapa kali bagikan kepada teman-teman yang ada di bidang pendidikan tinggi.

Squirrel’s innovation is in its granularity and scale. For every course it offers, its engineering team works with a group of master teachers to subdivide the subject into the smallest possible conceptual pieces. Middle school math, for example, is broken into over 10,000 atomic elements, or “knowledge points,” such as rational numbers, the properties of a triangle, and the Pythagorean theorem. The goal is to diagnose a student’s gaps in understanding as precisely as possible.

Dalam Bahasa Indonesia, kurang lebih artinya adalah sebagaimana ini:

Inovasi dari Squirrel adalah kehalusan dan skala dari materi pengajarannya. Untuk setiap materi pembelajaran yang diajarkan, tim teknis dari Squirrel bekerja sama dengan para master teacher untuk membagi setiap materi tersebut menjadi konsep konseptual yang paling kecil. Sebagai contoh, Matematika SMP telah dibagi menjadi 10,000 element atom, atau "titik pendidikan" seperti bilangan rasional, sifat segitiga, dan teorema pythagoras. Tujuannya adalah untuk mendiagnosa lubang dalam pengetahuan siswa dengan seakurat mungkin.

Kelas yang atom, dapat membantu pembelajaran online.

Menuju Pedagogi Online

Harus diakui, kalau masa pembelajaran online sekarang yang disebabkan oleh pandemi COVID-19 merupakan hal yang harus dibuat secara terburu-buru. Rencana pembelajaran selama satu semester harus segera disulap online. Memang masa transisi ini sangatlah sulit. Tetapi dari waktu sulit kita justru bisa melihat para pengajar hebat. Pengajar yang mau beradaptasi dan belajar sehingga bisa menjadi teladan bagi pelajarnya untuk ikut beradaptasi menghadapi tantangan online. Banyak pengajar mengajarkan tentang dunia yang akan dihadapi oleh para pelajarnya, “Para pelajar akan hidup di era Revolusi Industri 4.0 dan era serba digital!”. Sekarang adalah waktu bagi para pengajar untuk hidup di era digital tersebut sebelum para muridnya terjun.

Para pengajar yang berhasil, akan terbukti telah menjadi bukti nyata dari konsep learn, unlearn, and learn. Dan saya salut serta hormat bagi setiap pengajar yang beradaptasi dan menciptakan kembali dirinya sebagai pengajar digital.

Kampus Merdeka untuk Kampus 4.0

Ditulis ketika saya bekerja sebagai Project Staff di Biro Administrasi Kemahasiswaan dan Alumni UK Petra, saya memikirkan bagaimana masa depan pendidikan dapat terjadi di era Kampus Merdeka. Artikel ini murni pendapat saya sendiri dan tidak mewakili institusi manapun.

Revolusi Industri 4.0 telah mengubahkan segala aspek dari kehidupan manusia. Mulai dari munculnya pemasaran digital, prevalensi bioteknologi, bisnis keberlanjutan, dan Internet of Things. Tetapi satu aspek dari kehidupan manusia, yang telah berusia lebih dari 1,000 tahun, masih belum mengalami disrupsi seperti yang telah dibayangkan. Pendidikan tinggi masih bergerak dengan konsepsi lama akan pendidikan.

Pendidikan tinggi saat ini cenderung memiliki pendekatan atas ke bawah. Kurikulum pendidikan disusun oleh sekelompok dosen dan diendapkan kepada mahasiswa. Dalam ruang kelas, dosen merupakan urutan pengetahuan yang tertinggi dan mahasiswa hanya mempunyai tugas mendengarkan, mencatat serta mengulang apa yang dikatakan dalam dosen di ruang kelas. Dosen seakan akan seperti sebuah server yang pengetahuannya didownload oleh mahasiswanya.

Ada beberapa masalah yang muncul dari pendekatan seperti ini. Pertama, kurikulum yang didesain bersifat kaku tersebut belum tentu dapat mengikuti tuntutan zaman. Era 4.0 membuat munculnya karier-karier seperti social media manager, data scientist, content creator, GIS analyst, dan community engagement lead yang sebelumnya tidak diprediksi akan dengan begitu cepat menjadi kebutuhan dan tuntutan industri sekarang ini. Munculnya karier-karier tersebut juga di ikuti dengan kemunduran beberapa karier, teller bank digantikan oleh ATM dan penggunaan drafter dikurangi secara drastis oleh CAD (Computer Assisted Design). Bahkan sekarang penggunaan drafter dapat semakin berkurang lagi akibat munculnya BIM (Building Information Modelling). Kurikulum yang kaku, mendidik mahasiswa untuk mengikuti pekerjaan yang ke depannya belum tentu ada dan tidak bisa mengantisipasi pekerjaan, trend serta teknologi yang akan datang.

Yang kedua, karena sifat kurikulum yang kaku, konsepsi pengetahuan yang ada di kurikulum harus diterima oleh mahasiswa sebagai standar pendidikan yang tertinggi, tanpa ada kemungkinan untuk melakukan inovasi. Akibatnya, kreativitas, bakat serta minat dari mahasiswa yang tidak di akomodasi oleh kurikulum tidak dapat dikembangkan dan dengan terpaksa harus dibuang. Padahal justru di era disrupsi ini, inovasi yang muncul dari kreativitas dan bakat minat mahasiswa perlu dikembangkan karena hal-hal tersebut merupakan senjata utama bagi mahasiswa menghadapi era VUCA (Volatile, Uncertain, Complex and Ambiguous) ini.

Ketiga, kurikulum pendidikan yang didesain menempatkan dosen sebagai pusat pengetahuan tertinggi dan menempatkan mahasiswa sebagai pendengar saja sudah tidak bisa berlaku lagi. Munculnya internet membuat mahasiswa dapat secara mandiri mengakses pengetahuan dengan skala yang sebelumnya tidak ter-bayangkan sehingga memungkinkan bagi mereka untuk mengetahui apa yang tidak diketahui oleh dosen mereka, meruntuhkan monopoli pengetahuan dan hierarki pengajar di kelas. Peran dosen sebagai ‘server’ informasi tunggal, sudah digantikan dengan server-server di internet.

Kurikulum yang didesain dengan pola pikir kaku dari atas ke bawah tidak relevan lagi di era disrupsi 4.0 ini.  Pola kurikulum yang sekarang ini, mematikan kemungkinan inovasi, inisiatif, dan kreativitas mahasiswa, padahal pendidikan seharusnya menjaga dan mengembangkan keinginan belajar dari mahasiswa yang mereka punyai sejak lahir (W. Edwards Deming) serta memungkinkan mereka membangun kesadaran kritis dan mampu untuk berkarya (Paulo Freire).

Kampus Merdeka sebagai dasaran Kampus 4.0

Kebijakan Kampus Merdeka yang dipaparkan oleh Mendikbud Nadiem Makarim pada 24 Januari lalu merupakan langkah pertama yang baik untuk menuju kampus 4.0. Selain membebaskan dosen dari beban-beban administratif dan menambahkan tantangan bagi kampus untuk berkolaborasi dengan institusi internasional, kampus merdeka memberikan kebebasan bagi mahasiswa untuk menjadi mahasiswa merdeka. Merdeka untuk menemukan potensi serta bakat minatnya sendiri, dan mengembangkannya menjadi suatu karya lewat cara yang dia pilih sendiri.

Kampus merdeka memungkinkan terjadinya pendidikan yang hyper-personalized. Mahasiswa yang memiliki jiwa bisnis tinggi sekarang memiliki pilihan untuk melakukan kegiatan wirausaha untuk pemenuhan SKS kuliahnya, dan tidak dikekang dengan pilihan SKS yang sebelumnya terbatas. Pengotakan batasan-batasan ilmu dalam lingkup program studi pun bisa dilewati lewat kebebasan mengambil SKS dari program studi yang berbeda dari yang ditempuhnya. Tidak lagi mahasiswa terkungkung dengan konsep pendidikan yang kaku, tetapi mahasiswa bebas menentukan apa arti ‘pendidikan’ bagi dirinya sendiri dan menentukan jalannya sendiri untuk memaksimalkan potensi serta bakat minatnya.

Tidak hanya mahasiswa saja yang mengalami perubahan, tetapi juga dosen mengalami perubahan peran. Dosen perlu berubah menjadi dosen penggerak. Fungsi utama dosen bukanlah sekadar mendepositokan ilmu, tetapi belajar dan berkembang bersama dengan mahasiswanya (Freire). Dosen tidak bertindak sebagai server belaka saja, tetapi turut bertindak menciptakan sintesis pengetahuan baru. Dosen perlu membimbing setiap mahasiswanya secara afektif ke pola pikir pertumbuhan (growth mindset) dan punya n-Ach (Kebutuhan akan prestasi) yang tinggi dan sehat sehingga dapat memanfaatkan kebebasan dari kebijakan baru ini secara efektif.

Program Kampus Merdeka yang dibawakan oleh Kemendikbud memungkinkan munculnya pendidikan yang hyper-personalized. Setelah pendidikan hyper-personalized, perlu juga dilakukan hyper-localization dari pembelajaran. Pembelajaran perlu dikontekstualisasi sesuai dengan pengetahuan, kebijaksanaan, dan kebutuhan lokal. Kombinasi dari pendidikan yang hyper-personal dan hyper-local ini akan membentuk Kampus 4.0, di mana setiap mahasiswa bebas mengembangkan potensi dirinya menjadi pemimpin bangsa masa depan.