Ditulis ketika saya bekerja sebagai Project Staff di Biro Administrasi Kemahasiswaan dan Alumni UK Petra, saya memikirkan bagaimana masa depan pendidikan dapat terjadi di era Kampus Merdeka. Artikel ini murni pendapat saya sendiri dan tidak mewakili institusi manapun.
Revolusi Industri 4.0 telah mengubahkan segala aspek dari kehidupan manusia. Mulai dari munculnya pemasaran digital, prevalensi bioteknologi, bisnis keberlanjutan, dan Internet of Things. Tetapi satu aspek dari kehidupan manusia, yang telah berusia lebih dari 1,000 tahun, masih belum mengalami disrupsi seperti yang telah dibayangkan. Pendidikan tinggi masih bergerak dengan konsepsi lama akan pendidikan.
Pendidikan tinggi saat ini cenderung memiliki pendekatan atas ke bawah. Kurikulum pendidikan disusun oleh sekelompok dosen dan diendapkan kepada mahasiswa. Dalam ruang kelas, dosen merupakan urutan pengetahuan yang tertinggi dan mahasiswa hanya mempunyai tugas mendengarkan, mencatat serta mengulang apa yang dikatakan dalam dosen di ruang kelas. Dosen seakan akan seperti sebuah server yang pengetahuannya didownload oleh mahasiswanya.
Ada beberapa masalah yang muncul dari pendekatan seperti ini. Pertama, kurikulum yang didesain bersifat kaku tersebut belum tentu dapat mengikuti tuntutan zaman. Era 4.0 membuat munculnya karier-karier seperti social media manager, data scientist, content creator, GIS analyst, dan community engagement lead yang sebelumnya tidak diprediksi akan dengan begitu cepat menjadi kebutuhan dan tuntutan industri sekarang ini. Munculnya karier-karier tersebut juga di ikuti dengan kemunduran beberapa karier, teller bank digantikan oleh ATM dan penggunaan drafter dikurangi secara drastis oleh CAD (Computer Assisted Design). Bahkan sekarang penggunaan drafter dapat semakin berkurang lagi akibat munculnya BIM (Building Information Modelling). Kurikulum yang kaku, mendidik mahasiswa untuk mengikuti pekerjaan yang ke depannya belum tentu ada dan tidak bisa mengantisipasi pekerjaan, trend serta teknologi yang akan datang.
Yang kedua, karena sifat kurikulum yang kaku, konsepsi pengetahuan yang ada di kurikulum harus diterima oleh mahasiswa sebagai standar pendidikan yang tertinggi, tanpa ada kemungkinan untuk melakukan inovasi. Akibatnya, kreativitas, bakat serta minat dari mahasiswa yang tidak di akomodasi oleh kurikulum tidak dapat dikembangkan dan dengan terpaksa harus dibuang. Padahal justru di era disrupsi ini, inovasi yang muncul dari kreativitas dan bakat minat mahasiswa perlu dikembangkan karena hal-hal tersebut merupakan senjata utama bagi mahasiswa menghadapi era VUCA (Volatile, Uncertain, Complex and Ambiguous) ini.
Ketiga, kurikulum pendidikan yang didesain menempatkan dosen sebagai pusat pengetahuan tertinggi dan menempatkan mahasiswa sebagai pendengar saja sudah tidak bisa berlaku lagi. Munculnya internet membuat mahasiswa dapat secara mandiri mengakses pengetahuan dengan skala yang sebelumnya tidak ter-bayangkan sehingga memungkinkan bagi mereka untuk mengetahui apa yang tidak diketahui oleh dosen mereka, meruntuhkan monopoli pengetahuan dan hierarki pengajar di kelas. Peran dosen sebagai ‘server’ informasi tunggal, sudah digantikan dengan server-server di internet.
Kurikulum yang didesain dengan pola pikir kaku dari atas ke bawah tidak relevan lagi di era disrupsi 4.0 ini. Pola kurikulum yang sekarang ini, mematikan kemungkinan inovasi, inisiatif, dan kreativitas mahasiswa, padahal pendidikan seharusnya menjaga dan mengembangkan keinginan belajar dari mahasiswa yang mereka punyai sejak lahir (W. Edwards Deming) serta memungkinkan mereka membangun kesadaran kritis dan mampu untuk berkarya (Paulo Freire).
Kampus Merdeka sebagai dasaran Kampus 4.0
Kebijakan Kampus Merdeka yang dipaparkan oleh Mendikbud Nadiem Makarim pada 24 Januari lalu merupakan langkah pertama yang baik untuk menuju kampus 4.0. Selain membebaskan dosen dari beban-beban administratif dan menambahkan tantangan bagi kampus untuk berkolaborasi dengan institusi internasional, kampus merdeka memberikan kebebasan bagi mahasiswa untuk menjadi mahasiswa merdeka. Merdeka untuk menemukan potensi serta bakat minatnya sendiri, dan mengembangkannya menjadi suatu karya lewat cara yang dia pilih sendiri.
Kampus merdeka memungkinkan terjadinya pendidikan yang hyper-personalized. Mahasiswa yang memiliki jiwa bisnis tinggi sekarang memiliki pilihan untuk melakukan kegiatan wirausaha untuk pemenuhan SKS kuliahnya, dan tidak dikekang dengan pilihan SKS yang sebelumnya terbatas. Pengotakan batasan-batasan ilmu dalam lingkup program studi pun bisa dilewati lewat kebebasan mengambil SKS dari program studi yang berbeda dari yang ditempuhnya. Tidak lagi mahasiswa terkungkung dengan konsep pendidikan yang kaku, tetapi mahasiswa bebas menentukan apa arti ‘pendidikan’ bagi dirinya sendiri dan menentukan jalannya sendiri untuk memaksimalkan potensi serta bakat minatnya.
Tidak hanya mahasiswa saja yang mengalami perubahan, tetapi juga dosen mengalami perubahan peran. Dosen perlu berubah menjadi dosen penggerak. Fungsi utama dosen bukanlah sekadar mendepositokan ilmu, tetapi belajar dan berkembang bersama dengan mahasiswanya (Freire). Dosen tidak bertindak sebagai server belaka saja, tetapi turut bertindak menciptakan sintesis pengetahuan baru. Dosen perlu membimbing setiap mahasiswanya secara afektif ke pola pikir pertumbuhan (growth mindset) dan punya n-Ach (Kebutuhan akan prestasi) yang tinggi dan sehat sehingga dapat memanfaatkan kebebasan dari kebijakan baru ini secara efektif.
Program Kampus Merdeka yang dibawakan oleh Kemendikbud memungkinkan munculnya pendidikan yang hyper-personalized. Setelah pendidikan hyper-personalized, perlu juga dilakukan hyper-localization dari pembelajaran. Pembelajaran perlu dikontekstualisasi sesuai dengan pengetahuan, kebijaksanaan, dan kebutuhan lokal. Kombinasi dari pendidikan yang hyper-personal dan hyper-local ini akan membentuk Kampus 4.0, di mana setiap mahasiswa bebas mengembangkan potensi dirinya menjadi pemimpin bangsa masa depan.