Tiga saran untuk pembelajaran secara Online

Kemarin (25 Mei 2020) Instagram dari Pers Mahasiswa UK Petra memposting gambar berikut ini:

Secara prinsip, saya setuju. Dosen ataupun guru sudah mengalami banyak kesusahan akibat Pandemi COVID-19 ini. Tetapi pada saat yang sama, harus diakui ada banyak juga pengajar yang tidak memberikan pengajaran yang baik secara online. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para pengajar, ada begitu banyak dosen yang melakukan pengajaran online dengan pedagogi yang sifatnya offline, tidak ideal, dan kuno. Meminjam istilah dari Theory U, mereka saya istilahkan sebagai dosen ‘server’.

Dalam kasus dosen ‘server’, mahasiswa tinggal ‘download’ pengetahuan dosen tersebut tanpa adanya sintesis atau eksplorasi dari pengetahuan tersebut. Pola mengajar utama dari dosen ‘server’ ini hanya mengutarakan masa lalu, baca PPT saja tanpa ada eksplorasi, dan tidak melihat ke depan. Dalam kasus ini, membaca buku diktat acuan ataupun PPT Handout mungkin bisa lebih bermanfaat karena penjelasan dosen ‘server’ tidak menambahkan apapun dari PPT. Tetapi harus diakui meski begitu, banyak mahasiswa yang sebenarnya ‘cocok’ dengan dosen ‘server’ ini. Karena mereka tidak suka membaca, mereka butuh kelas supaya ada yang ‘membacakan’ buku tersebut bagi mereka.

Membuat kelas online memerlukan konsep pedagogi yang baru. Saya selalu ingat perkataan Rektor dari ITHB Dr. Ir. Samuel Tarigan, M.B.A., kalau mau jualan online itu bukan cuma sekadar punya gerobak tahu bulat lalu dimasukkan ke Tokopedia. Perlu perubahan konsep supaya bisa sukses dalam online. Hal yang sama berlaku untuk pengajaran online.

Kita perlu melihat kelas pendidikan sebagai suatu ‘produk ekonomi’, di mana tindakan mengonsumsinya adalah suatu tindakan ekonomi yang rasional. Kalau materi kelas onlinenya menarik, mahasiswa akan tentu memilih untuk mengikuti kelas online tersebut. Popularitas dari edX, Youtube, dan pendidikanX lainnya menunjukkan bahwa ada permintaan akan pendidikan online yang bermutu. Ketika pelajar tidak mendengarkan pengajar di kelas, kita tidak bisa sekadar menyalahkan pelajarnya saja tetapi kita juga perlu memberikan burden/beban/perhatian kepada pengajarnya juga. Kalau ada usaha yang kurang laku, produknya yang di inspeksi dan di check, bukan pelanggannya. Konsumernya hanya melakukan pemilihan terbaik sesuai dengan produk yang ada. Singkatnya, nilai ekonomi dari mengikuti kelas online harus bisa menyaingi nilai ekonomi dari melihat YouTube atau memainkan mobile legend.

Saya memang bukanlah seorang Guru, atau seorang pengajar. Bahkan apabila saya menjadi pengajar, mungkin saya juga akan menjadi seperti para pengajar ‘server’. Tetapi sebagai konsumen pendidikan online (dari YouTube dan edX), saya ada beberapa hal yang saya amati dari pendidikan online yang baik. Sebagai konsumen, saya ada 3 saran bagi para produsen pendidikan supaya para konsumen lain dapat lebih tertarik dan lebih bisa mengonsumsi produksi anda.

1. Jangan sekadar menjadi server

"Kedua, pendidik di era revolusi industri 4.0 yang ditandai inovasi teknologi informasi-komunikasi supercepat nan disruptif tidak bisa bertahan dengan pola yang sama dengan era sebelumnya. Sebab, pada era ini, peran pendidik sebagai sumber informasi dan sumber teladan mendapat tantangan yang luar biasa besar. 

Sebagai sumber informasi, posisi pendidik sudah cenderung tergantikan oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Apalagi, tingkat literasi IT anak-anak muda bangsa ini lebih tinggi daripada pendidik dari generasi yang lebih tua. Konsekuensinya, pendidik tidak bisa memosisikan diri sebagai sumber informasi yang superdominan bagi peserta didik karena di luar dirinya sumber informasi itu sangat beragam dan cenderung lebih luas, canggih, komprehensif, serta mendalam.

Prof Akh. Muzakki, Jawa Pos – 10 Mei 2018

Sebelum era digital, pengetahuan cenderung terkonsentrasi di beberapa tempat atau orang saja. Apabila mau mencari tahu tentang sesuatu, seseorang perlu berpergian ke perpustakaan terdekat dan mencari buku yang mengandung informasi tersebut. Sekarang, lewat adanya Google dsb proses pencarian informasi bisa dilakukan sangat cepat.

Pengajar ‘server’ hanya memiliki nilai karena asimetris informasi ini. Karena adanya keterbatasan informasi, pengajar ‘server’ memiliki nilai sebagai sumber informasi. Tetapi seperti yang dibahas Prof. Muzakki, meningkatnya literasi IT membuat pengajar ‘server’ ini kehilangan nilai karena informasi yang diketahui oleh pengajar dapat dicari tahu dengan mudah oleh pelajar lewat internet, dan bahkan informasi yang didapatkan di internet bisa jauh lebih berkualitas dibandingkan dengan informasi yang dimiliki pengajar.

Terlebih lagi di era pembelajaran online pada saat pandemi seperti ini. Sebelumya, meski nilai yang didapatkan dari sifatnya sebagai ‘server’ sudah berkurang, pengajar ‘server’ masih memiliki nilai tambah dari keterbatasan geografi dan adanya bentuk interaksi fisik. Tetapi karena pandemi COVID-19, dua hal tersebut yang merupakan batu karang terakhir bagi para pengajar ‘server’ justru menjadi beban karena konsep di rumah aja.

Lalu, apakah sebagian besar pengajar akan menjadi obsolete (sudah kuno)? Apakah masa depan pendidikan akan di dominasi oleh sejumlah kecil pengajar yang mengajarkan kelas secara masif lewat internet? Saya rasa tidak, pengajar dalam jumlah besar masih diperlukan, tetapi tidak dalam bentuknya seperti sekarang yang murni sebagai ‘server’ melainkan sebagai pemandu, mentor, dan pencipta ilmu. Pengajar yang masih bersikukuh hanya bertindak sebagai ‘server’ akan sulit bertahan di era pendidikan online ini dan bisa ‘punah’. Pendidikan online sudah mereduksi nilai yang ada dari pengajar ‘server’ dan memunculkan ‘server-server’ lain yang lebih berkualitas.

Dalam era digital ini setiap pelajar memerlukan ‘mentor’ dan ‘pemandu’ untuk mengarungi lautan informasi yang ada. Eksplorasi yang salah dalam lautan informasi baru ini dapat berujung sia-sia dan menghabiskan banyak waktu, atau lebih parah lagi malah membuat memiliki konsep pengetahuan yang salah. Dalam lautan informasi, pengajar perlu memandu para pelajar dalam melakukan eksplorasi mandiri, sehingga proses pembelajaran mereka dapat dipercepat dan menghindari langkah-langkah yang tidak optimal (yang mungkin sudah dialami para pengajar terlebih dahulu).

Selain itu, meskipun informasi yang tersedia sudah banyak, masih ada kebutuhan untuk melakukan kontekstualisasi dan personalisasi akan informasi tersebut. Sebagai contoh, sebagian besar buku acuan terkait tanah dan penelitian akan tanah berasal dari Amerika Serikat lewat institusi-institusi seperti ASTM. Tetapi belum tentu kajian yang dilakukan di Amerika Serikat dapat berlaku 100% di Indonesia. Para pengajar lokal disini memiliki peran untuk melakukan kontekstualisasi akan materi tersebut (misal: menyambungkan teori yang ada dengan struktur tanah di Surabaya dan/atau ketersediaan SDA SDM lokal yang ada). Kontekstualisasi dan personalisasi ini dapat dilakukan dengan menceritakan pengalaman industri, pemaknaan pribadi, dan/atau melakukan riset akan hal-hal terbaru dalam bidang ilmunya. Singkatnya, pengetahuan yang dimiliki dosen bukan sekadar regurgitating tetapi juga merupakan hasil sintesis mandiri dari pengajar.

Inti dari pengajar yang bukan ‘server’ adalah pengajar mendorong para pelajar untuk melakukan eksplorasi akan pengetahuan dan bahkan melakukan sintesis pengetahuan. Sintesis pengetahuan ini bukan berarti bahwa para pengajar perlu membuat mahasiswanya mampu membuat jurnal terindeks internasional, tetapi setidaknya mampu menemukan pemaknaan akan pengetahuan itu secara mandiri dan komprehensif.

2. Kelas On-Demand

Ketika kita berbicara terkait konten online, satu hal yang akan terpikirkan adalah on-demand. Bisa mendapatkan konten yang diinginkan pada waktu apapun dan tempat manapun. Saya bisa membaca NYTimes pada waktu yang saya mau, memesan makanan dari restoran diseberang kota pada waktu yang saya mau, dan belanja online pada waktu yang saya mau. Pada zaman sekarang semua hal sudah hampir tersedia secara on-demand, atau waktu konsumsi ditentukan oleh konsumen dan bukan produsen.

Pada detik ini, saya dapat belajar tentang Sejarah Romawi Kuno di YouTube dan Filosofi Soren Kierkegaard dari Coursera Universitas Kopenhagen. Saya dapat memilih waktu di mana saya merasa ingin belajar materi tersebut dan dalam kondisi paling ideal untuk menyerap materi-materi tersebut.

Untuk membantu meningkatkan perhatian pelajar pada kelas, sebaiknya kelas online juga dibuat tersedia on-demand. Materi pengajaran / video seminar kelas tetap disediakan sehabis kelas berlangsung sehingga pelajar tidak wajib melihat secara langsung. Hal ini akan memudahkan akses bagi pelajar untuk mempelajari materi pada waktu yang paling ideal bagi dirinya. Pada waktu kelas offline, tentu hal tersebut tidak bisa dilakukan karena ada hambatan antara jam yang dimiliki pengajar dan jam yang dimiliki oleh para pelajar. Tetapi karena kelasnya sudah berbentuk digital, hambatan waktu offline tersebut sudah tidak ada.

3. Atomisasi Kelas

Dari beberapa kelas online yang saya ikuti di Youtube dan edX, ada satu pattern yang saya amati. Videonya tidak ada yang memiliki durasi puluhan menit atau berjam-jam langsung. Tetapi setiap video dari kelas dibagi menjadi seksi-seksi kecil yang berdurasi 5-10 menit. Hal ini, apabila tidak salah, disebut sebagai atomisasi pendidikan. Apa yang menjadi tujuan materi pembelajaran dari kelas yang sifatnya umum di break down menjadi unit-unit yang lebih kecil. Salah satu kelas favorit saya, Introduction to Probability oleh Prof. John Tsitsiklis menggunakan konsep tersebut. Dalam setiap kelasnya, videonya dibagi menjadi L01.1, L01.2, L02.1. LO1 menandakan lecture/Kelas ke 1, dan .1 menandakan bagian pertama. Prof. Tsitsiklis membagi kelasnya menjadi 8-10 video tiap lecture, dimana setiap video merupakan sebuah atom dari materi lecture.

Atomisasi ini bisa dibayangkan seperti ini. Ketika membuat kelas yang mengajarkan Matematika Tambah Kurang Kali Bagi. Bagilah sesi kelas anda menjadi sesi “Pertambahan” sendiri, “Pengurangan” sendiri, “Perkalian” sendiri dan “Pembagian” sendiri. Setiap materi pembelajaran dibagi menjadi materi-materi terkecil yang bisa diajarkan. Materi-materi tersebut juga disusun secara kronologis dan tertata. Sebenarnya dalam kelas offline, sebenarnya atomisasi materi juga sudah dilakukan lewat RPP, dimana materi diatomkan ke tingkat pertemuan. Di kelas kelas online, untuk melakukan atomisasi, RPP dapat disusun dengan tingkat per konsep. Batasan utamanya bukan lagi waktu, tetapi memang susunan logis dari materi yang diajarkan.

Pengalaman pribadi dari salah satu video saya di Youtube. Dari total lama video 3 menit, para viewer hanya menonton 1:22 menit saja.

Apabila anda merekam kuliah anda lewat YouTube (atau program lain yang menyediakan big data analytics), anda dapat melihat bahwa banyak orang tidak menonton video sampai habis. Dan rata-rata dari lama video yang dilihat bisa berbeda jauh dengan total lama video. Lewat melakukan atomisasi pembelajaran ke tingkat konsep, video-video kelas dapat dibuat dengan durasi yang lebih pendek yang memiliki kemungkinan lebih besar untuk ditonton/diserap dengan lebih baik. Perlu di ingat bahwa atomisasi video bukan berarti memangkas total waktu durasi kelas, tetapi membagi waktu pembelajaran ke sesi-sesi yang lebih pendek. Bisa jadi kelas yang disusun secara atom memiliki waktu yang durasi total yang lebih lama karena adanya overhead tambahan.

Pada Januari 2020 lalu, MIT Technology Review mengeluarkan artikel terkait Pendidikan Online berbasis AI di Tiongkok. Ada satu kutipan yang saya catat dan beberapa kali bagikan kepada teman-teman yang ada di bidang pendidikan tinggi.

Squirrel’s innovation is in its granularity and scale. For every course it offers, its engineering team works with a group of master teachers to subdivide the subject into the smallest possible conceptual pieces. Middle school math, for example, is broken into over 10,000 atomic elements, or “knowledge points,” such as rational numbers, the properties of a triangle, and the Pythagorean theorem. The goal is to diagnose a student’s gaps in understanding as precisely as possible.

Dalam Bahasa Indonesia, kurang lebih artinya adalah sebagaimana ini:

Inovasi dari Squirrel adalah kehalusan dan skala dari materi pengajarannya. Untuk setiap materi pembelajaran yang diajarkan, tim teknis dari Squirrel bekerja sama dengan para master teacher untuk membagi setiap materi tersebut menjadi konsep konseptual yang paling kecil. Sebagai contoh, Matematika SMP telah dibagi menjadi 10,000 element atom, atau "titik pendidikan" seperti bilangan rasional, sifat segitiga, dan teorema pythagoras. Tujuannya adalah untuk mendiagnosa lubang dalam pengetahuan siswa dengan seakurat mungkin.

Kelas yang atom, dapat membantu pembelajaran online.

Menuju Pedagogi Online

Harus diakui, kalau masa pembelajaran online sekarang yang disebabkan oleh pandemi COVID-19 merupakan hal yang harus dibuat secara terburu-buru. Rencana pembelajaran selama satu semester harus segera disulap online. Memang masa transisi ini sangatlah sulit. Tetapi dari waktu sulit kita justru bisa melihat para pengajar hebat. Pengajar yang mau beradaptasi dan belajar sehingga bisa menjadi teladan bagi pelajarnya untuk ikut beradaptasi menghadapi tantangan online. Banyak pengajar mengajarkan tentang dunia yang akan dihadapi oleh para pelajarnya, “Para pelajar akan hidup di era Revolusi Industri 4.0 dan era serba digital!”. Sekarang adalah waktu bagi para pengajar untuk hidup di era digital tersebut sebelum para muridnya terjun.

Para pengajar yang berhasil, akan terbukti telah menjadi bukti nyata dari konsep learn, unlearn, and learn. Dan saya salut serta hormat bagi setiap pengajar yang beradaptasi dan menciptakan kembali dirinya sebagai pengajar digital.

Berapa Banyak Jumlah Orang yang di-PHK Akibat COVID-19?

Berapa banyak jumlah orang yang di-PHK akibat COVID-19? Berbeda dengan negara lain seperti Amerika Serikat yang mempublikasikan data klaim unemployment benefit hampir mingguan sehingga jumlah orang yang di-PHK pada masa pandemi COVID-19 dapat dikira-kira dengan baik, setahu saya sampai saat ini belum ada single source of truth (Data yang dianggap paling akurat dan benar sehingga dipakai acuan untuk pengambilan keputusan ataupun kebijakan) akan jumlah PHK di Indonesa akan COVID-19. Biasanya data dari BPS digunakan sebagai source of truth, tetapi sampai saat ini BPS belum ada publikasi data pengangguran untuk April 2020. Oleh karena itu, ada beberapa instansi baik negara dan swasta yang menawarkan data pencatatan ataupun perhitungannya sendiri.

(Perlu di ingat bahwa data pengangguran, PHK, dan unemployment benefit memiliki perbedaan, tetapi perbedaan tersebut diluar lingkup dari artikel ini dan dapat dihiraukan dalam konteks artikel ini.)

Data PHK yang dikompilasi dari Media Massa

No.Sumber Jumlah PHKTanggal
1Bappenas2 – 3.7 juta orang12 Mei 2020
2Kemenaker2.9 juta orang (Jumlah Terdata Baik dan Belum Tervalidasi)
1.7 juta (Total Terdata Baik)
1 Mei 2020
3Kadin6 juta orang11 Mei 2020
4Kemenko Perekonomian3.05 juta orangUpdate: 3 Juni 2020
Silahkan Klik “Sumber” untuk membuka Link berita.

Nah, sekarang yang menjadi pertanyaan. Data siapa yang benar? Mungkin data Kadin bisa kita ‘hiraukan’ karena Kadin adalah perkumpulan swasta dan bukan bagian dari pemerintahan. Sehingga ada dua data dari Pemerintah Pusat yang bisa kita ambil. Tapi data dari pemerintah pusat pun mengalami perbedaan. Belum lagi apabila data ini nanti di cross check kan dengan data Provinsi. Pengalaman dari pelaporan data COVID-19 menunjukan bahwa laporan harian terinfeksi COVID-19 dari Pemda, Pemprov, dan Pusat bisa berbeda.

Data yang ada pun sementara ada (setidaknya yang dipublikasikan ke Publik) pun sudah ‘berumur’. Ada perbedaan 1 minggu itu bisa berarti sudah ada ratusan ribu ataupun jutaan orang tambahan yang sudah di PHK.

Perlu di ingat pula bahwa data-data dari sumber di atas kemungkinan besar tidak bisa mencatak ‘PHK’ dari sektor informal secara akurat karena kesulitan mendapatkan data dari sektor informal. Ditambah lagi, data-data diatas kemungkinan besar tidak mencakup orang dengan status ODP (Orang Drop Penghasilan). Dalam kasus tertentu, penghasilan usaha yang turun (ojek online, petani gula dsb), gaji dipotong 50%, THR dicabut ataupun pengurangan jam kerja membuat orang di atas kertas masih mempunyai pekerjaan, tetapi penghasilannya sudah drop sehingga mengalami kesulitan ekonomi.

Perlu diingat, bahwa BPS sempat merilis data pengganguran Indonesia (di bulan Februari) kurang lebih sekitar 6 jutaan. Dengan adanya PHK COVID-19 ini kemungkinan besar jumlah pengangguran sudah berlipat ganda dalam waktu 2 bulan. Dari 5% menjadi 10%.

Satu hal yang pasti, COVID-19 ini sudah menyebabkan setidaknya jutaan orang, apabila bukan puluhan juta orang, mengalami kesulitan ekonomi. Semoga pemerintah, baik dari tingkat pusat, provinsi, dan daerah segera mengambi kebijakan-kebijakan stimulus yang dapat menolong orang-orang yang ter-PHK.

Apabila ada yang mempunyai data yang lebih up-to-date terkait PHK, mohon berkenan membagikannya kepada penulis. Penulis akan menambahkan data tersebut ke dalam tabel.

Menghapuskan Titip Absen dengan Menghapuskan Absen Wajib

Artikel ini ditulis pada saat penulis masih merupakan mahasiswa tahun ketiga di Universitas Kristen Petra Surabaya. Pandangan dari Artikel ini belum tentu menggambarkan pandangan penulis yang sekarang ada, tetapi meski demikian artikel ini tetap diputuskan untuk dipublikasikan dalam bentuk aslinya. Menariknya, di dunia era Pandemi COVID-19 ini beberapa Universitas telah menerapkan semester bebas absen. Data dari semester ini memiliki potensi untuk memverifikasi asumsi-asumsi dari penulis.

Hampir setiap mahasiswa pasti pernah mendengarkan rangkaian kata ini: titip absen. Titip absen, atau yang juga dikenal dengan singkatannya yaitu TA, merupakan bagian yang hampir tidak terpisahkan dengan kehidupan kampus. Kuliah memang berbeda dari SMA di mana absensi dilakukan secara ketat sehingga tidak ada cara yang mudah bagi siswa/i untuk melakukan pemalsuan administratif apabila tidak masuk. Kebebasan akademik dan mekanisme perkuliahan menawarkan suatu sistem yang tidak seketat SMA (seperti kebebasan untuk memilih jadwal dan mata kuliah yang ingin diambil), sehingga kecurangan administratif seperti TA dapat dilakukan dengan mudah.

Mengapa mahasiswa mau melakukan tindakan TA? Tentu hal ini tidaklah logis. Mayoritas mahasiswa membayar untuk dapat mengenyam bangku perkuliahan. Mengingat kalimat dari dosen saya, “Kuliah bayar mahal-mahal kok mintanya libur.” Dalam kiasan yang lebih dapat mengerti, hal ini ibarat sudah membeli suatu makanan, lalu membuang makanan tersebut.

Tetapi melihat dari perspektif lain, ada suatu pola pikir yang dapat membuat TA menjadi suatu tindakan logis. Dengan melihat perspektif tersebut, kita akan dapat mengerti bagaimana cara menghadapi TA secara efektif.

Melihat kelas dengan perspektif baru.

Dengan melihat ‘waktu’ sebagai sumber daya, kita dapat melihat perspektif orang yang melakukan TA. Orang akan berusaha semaksimal mungkin untuk menggunakan sumber dayanya sebaik-baiknya agar mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya. Dalam praktiknya, mahasiswa memilih melakukan absen apabila tidak menghadiri kelas tersebut dirasa lebih menguntungkan. Mahasiswa yang melakukan TA merasa bahwa nilai/ keuntungan yang ditawarkan dari menggunakan waktunya untuk kegiatan lain seperti belajar mandiri di luar ruang kelas, mengikuti kegiatan seminar & workshop, mengikuti kepanitiaan dan sebagainya dianggap lebih besar daripada mengikuti kelas.

Dari dalam diri seorang individu, ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembobotan dari nilai/ keuntungan yang didapat. Misalnya motivasi dan determinasi diri yang tinggi. Orang yang termotivasi akan lebih menghargai pembelajaran yang dia dapat dibanding kesenangan sejenak. Tetapi ada juga faktor eksternal yang mempengaruhi pembobotan tersebut. Faktor-faktor tersebut lebih intrinsik dengan pembelajaran yang ada di kelas, yaitu pedagogi dari dosen dan materi dari kelas itu sendiri.

Kualitas dari pedagogi dan materi yang diajarkan menentukan nilai dari kelas. Ada hubungan korelasi positif akan hal tersebut. Dalam kondisi yang ideal dan bebas, dosen akan berusaha terus menerus untuk meningkatkan kualitas dari pedagogi dan materi yang diajarkan dari kelas tersebut sehingga nilai kelas tersebut bertambah, dan dapat menjadi kompetitif terhadap opsi-opsi lain (misalnya, nilai kepuasan dari bermain game). Kondisi seperti ini kita asumsikan sebagai pasar bebas ideal. Tetapi pada kenyataannya, karena aturan dari Universitas yang meminta adanya minimal 75% kehadiran atau absensi, kondisi ideal ini tidak dapat terjadi. Hal ini terjadi karena adanya monopoli akan absensi.

Tanpa ada kualitas pengajaran di kelas pun, permintaan mahasiswa akan absen akan secara natural muncul karena mahasiswa wajib absen. Tidak ada insentif natural untuk meningkatkan nilai dari pengajaran di kelas. Akibatnya nilai yang ditawarkan dari kelas tidak berkembang dan gagal berkompetisi dengan opsi kegiatan lainnya. Sumber daya yang diberikan untuk mengikuti kelas tidak sebanding dengan value yang didapatkan. Lebih baik menghabiskan waktu mengikuti kegiatan lain. Tetapi karena diwajibkan absen 75%, mahasiswa/i harus mengikuti kelas. Karena mengikuti kelas tersebut diwajibkan dan bukan karena prinsip ekonomi dimana sumber daya yang dikeluarkan sebanding dengan apa yang didapatkan, muncul upaya-upaya untuk kembali memaksimalkan keuntungan. Salah satunya adalah lewat tindakan TA.

Solusi untuk menghadapi TA

Kembali lagi, kita dapat mengasumsikan bahwa TA muncul karena adanya value yang didapat dari mengikuti kelas lebih kecil daripada value mengikuti kegiatan lain. Sumber daya yang diberikan untuk mengikuti kelas tidak sebanding dengan value yang didapatkan, maka lebih baik menghabiskan waktu mengikuti kegiatan lain. Tetapi karena diwajibkan hadir 75%, mahasiswa pun harus datang ke kelas. Karena datang ke kelas ini karena sebuah ‘pemaksaan’ yang tidak muncul secara natural dari keinginan mahasiswa untuk mengikuti kelas, mahasiswa pun melakukan tindakan TA.

Memang ada solusi seperti melatih integritas dan meningkatkan motivasi mahasiswa (faktor eksternal yang mempengaruhi nilai). Tetapi solusi tersebut sudah banyak dicoba, mulai dari publikasi pernyataan bahwa titip absen adalah awal dari budaya korupsi, presensi manual oleh dosen sehingga kemungkinan TA pun turun, dll. Tetapi sekali lagi apabila kita melihat dari perspektif yang ada di atas, solusi tersebut belum bisa menanggapi permasalahan utama, yaitu value ataupun kepuasan yang didapatkan dari kelas lebih kecil daripada opsi lainnya.

Menghapuskan kewajiban absen minimal 75% dapat menjadi suatu opsi yang dapat mengurangi TA. Mengapa? Karena bila absen minimal 75% dihapuskan maka ‘mekanisme pasar’ pun dapat terjadi. Karena tidak ada ‘demand’ buatan akan absensi yang disebabkan mahasiswa wajib datang kelas, dosen akan terdorong untuk meningkatkan value ataupun pedagogi pembelajaran di kelas. Apabila sebelumnya yang dilihat hanya faktor mahasiswanya, penghapusan absen akan membuat dosen kembali menjadi faktor.

Memang hal ini dapat menjadi suatu hal yang kontroversial. Tetapi perlu di ingat bahwa mahasiswa yang sudah tidak melakukan TA akan tetap hadir dalam kelas tanpa absensi wajib 75% karena mereka sudah merasa bahwa datang ke kelas merupakan opsi yang terbaik. Solusi ini lebih bersifat mencoba mengobati mahasiswa yang dari awal tidak menganggap kelas merupakan solusi/value yang paling optimal.

Suatu saat, di dunia dimana tidak ada absen wajib, mahasiswa bisa datang ke kelas karena memang mereka merasa bahwa hal itu adalah murni keinginannya.

Membangun Kembali Kepercayaan Publik akan Produk Legislasi Indonesia

Artikel ini ditulis di September 2019, ketika unjuk rasa akan RKUHP sedang menggelora di berbagai kota di Indonesia. Artikel ini bermaksud untuk menjembatani Rakyat dengan DPR/Badan Legislatif lainnya untuk menghindari situasi yang membuat terjadinya unjuk rasa RKUHP. Artikel ini sempat dirikim secara kolektif ke DPRD Kota Surabaya lewat BEM UK Petra pada Oktober lalu

Di bulan September 2019 muncul aksi unjuk rasa yang ada di berbagai macam daerah di Indonesia. Unjuk rasa tersebut muncul akibat gencarnya penolakan oleh pelbagai kalangan akan bermacam-macam produk legislasi di Indonesia, seperti dari Revisi UU KPK, RKUHP, RUU Pertanahan, RUU Ketenagakerjaan dan lain-lain. Terbebas dari pelbagai diskursus politik yang pro ataupun kontra terhadap produk legislatif tersebut sebuah benang merah dapat ditarik dari reaksi yang muncul dari produk legislasi tersebut, yaitu kurangnya sosialisasi ke dalam ranah publik (CNN Indonesia, 2019; Redaksi Kumparan, 2019). Akibatnya muncul interpretasi yang beragam akan produk legislasi tersebut, penyebaran informasi yang sifatnya sepotong dan menyederhanakan kompleksitas produk legislasi yang kompleks, dan kesan bahwa UU tersebut hanya melibatkan kepentingan tertentu dan tidak mendengarkan pendapat rakyat. Melihat dari fakta tersebut, diperlukan hubungan dekat serta keterlibatan yang lebih erat antara badan legislatif dengan masyarakat yang diwakilinya sehingga sejak awal masyarakat umum mengetahui produk-produk legislasi dari tahap inisiatif, sosialisasi hingga pengesahan sehingga masyarakat dapat memberikan kontribusi aspiratif dalam rangka membentuk dan membangun bersama produk legislasi untuk kehidupan kenegaraan. Dalam kata yang lebih ringkas, perwakilan masyarakat di badan legislatif lebih perlu dapat mewakili masyarakat yang diwakilinya, menjadi telinga dan mulut bagi masyarakat yang ia wakili.

Kualitas seorang wakil rakyat (dan badan legislatif, secara besar) sangat berkaitan erat dengan kemampuannya merepresentasikan masyarakat yang ia wakili. Untuk dapat merepresentasikan masyarakat, seorang wakil rakyat perlu tahu diketahui dan mengetahui masyarakat yang ia wakili. Tetapi dalam kenyataannya hal ini sering tidak terjadi, 43% responden dari survei yang dilakukan oleh Departemen Statistika ITS menyatakan bahwa mereka tidak tahu akan nasib wakil rakyat yang mereka pilih di DPRD Surabaya (Jawa Pos, 2019). Survei yang sama menyatakan juga bahwa 70% dari responden tidak tahu bahwa anggota DPRD Surabaya periode 2019-2024 sudah dilantik (Jawa Pos, 2019). Apabila masyarakat tidak mengetahui akan wakil rakyatnya, bagaimana mungkin seorang wakil rakyat dan badan legislatif di mana ia menjadi anggotanya dapat mewakili masyarakatnya? Filsuf Prancis Alexis de Tocqueville pernah menyatakan bahwa hukum akan selalu tidak stabil selama tidak didasarkan terhadap perilaku suatu bangsa. Menarik diri ke peristiwa sekarang, dapat dilihat bahwa ketidakstabilan RUU ataupun UU yang dihasilkan oleh badan legislatif muncul karena kurang efektifnya wakil rakyat untuk berkomunikasi kepada masyarakat.

Melihat hal tersebut, kita perlu belajar dari negara lain terkait bagaimana wakil rakyat dapat kontinu dengan masyarakat yang ia wakili sehingga produk legislasi yang dihasilkan dapat lebih representatif akan masyarakat. Ketika saya berkunjung di Singapura pada Juni lalu, saya mengamati bagaimana anggota Parlemen Singapura melakukan “Meet the People Session” / Sesi Bertemu Masyarakat secara rutin, setiap minggunya. Pemberitahuan akan sesi-sesi tersebut dilakukan lewat pengumuman pada papan-papan pengumuman HDB/Rusun Singapura dan bahkan diinformasikan lewat spanduk-spanduk besar. Di Amerika Serikat, politisi sering kali bertemu dengan masyarakat lewat Town Hall Meeting / Pertemuan Balai Kota (yang tidak wajib dilakukan di balai kota). Dalam forum tersebut politisi dapat langsung berinteraksi dengan rakyat.

Sudah waktunya bagi anggota badan legislatif Indonesia untuk masuk ke dalam era keterbukaan Reformasi ini lewat ikut mengadakan pertemuan “Temu Rakyat” ini. Pertemuan Temu Rakyat ini dapat dilakukan di Kelurahan, Karang Taruna, Sekolah Negeri ataupun tempat publik lainnya. Pertemuan Temu Rakyat ini akan menjadi suatu forum modern di mana masyarakat dapat menyuarakan aspirasinya dan anggota badan legislatif dapat menyampaikan perkembangan terbaru untuk menjadi perhatian bagi masyarakat. Sehingga diharapkan dapat muncul kesinambungan antara badan legislatif dengan masyarakat yang diwakilinya. Dalam sila keempat Pancasila, Demokrasi di Indonesia dijalankan dengan prinsip “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Sudah waktunya untuk badan legislasi di Indonesia menerapkan kembali prinsip permusyawaratan tersebut dalam tingkat pertama dalam sistem politik Indonesia, yaitu daerah pemilihannya (dapil). Diharapkan dengan Temu Rakyat pada tingkat dapil, semangat musyawarah dan gotong royong dapat dibangun lagi. Untuk produk legislasi yang lebih sesuai dengan aspirasi masyarakat dan Indonesia yang lebih maju lagi.

References

CNN Indonesia. (2019, September 21). Menkumham Akui Kurang Sosialisasi RKUHP ke Publik. Retrieved September 26, 2019, from CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190920210820-32-432458/menkumham-akui-kurang-sosialisasi-rkuhp-ke-publik

Jawa Pos. (2019, September 23). Warga Surabaya Tak Tahu Anggota Dewan Sudah Dilantik. Retrieved September 26, 2019, from Jawa Pos: https://www.jawapos.com/surabaya/23/09/2019/warga-surabaya-tak-tahu-anggota-dewan-sudah-dilantik/

Redaksi Kumparan. (2019, September 24). Dian Sastro Jawab Yasonna: Kami Tak Akan Bungkam. Retrieved September 26, 2019, from kumparan: https://kumparan.com/@kumparanhits/dian-sastro-jawab-yasonna-kami-tak-akan-bungkam-1rvW97MCi1Q

Kampus Merdeka untuk Kampus 4.0

Ditulis ketika saya bekerja sebagai Project Staff di Biro Administrasi Kemahasiswaan dan Alumni UK Petra, saya memikirkan bagaimana masa depan pendidikan dapat terjadi di era Kampus Merdeka. Artikel ini murni pendapat saya sendiri dan tidak mewakili institusi manapun.

Revolusi Industri 4.0 telah mengubahkan segala aspek dari kehidupan manusia. Mulai dari munculnya pemasaran digital, prevalensi bioteknologi, bisnis keberlanjutan, dan Internet of Things. Tetapi satu aspek dari kehidupan manusia, yang telah berusia lebih dari 1,000 tahun, masih belum mengalami disrupsi seperti yang telah dibayangkan. Pendidikan tinggi masih bergerak dengan konsepsi lama akan pendidikan.

Pendidikan tinggi saat ini cenderung memiliki pendekatan atas ke bawah. Kurikulum pendidikan disusun oleh sekelompok dosen dan diendapkan kepada mahasiswa. Dalam ruang kelas, dosen merupakan urutan pengetahuan yang tertinggi dan mahasiswa hanya mempunyai tugas mendengarkan, mencatat serta mengulang apa yang dikatakan dalam dosen di ruang kelas. Dosen seakan akan seperti sebuah server yang pengetahuannya didownload oleh mahasiswanya.

Ada beberapa masalah yang muncul dari pendekatan seperti ini. Pertama, kurikulum yang didesain bersifat kaku tersebut belum tentu dapat mengikuti tuntutan zaman. Era 4.0 membuat munculnya karier-karier seperti social media manager, data scientist, content creator, GIS analyst, dan community engagement lead yang sebelumnya tidak diprediksi akan dengan begitu cepat menjadi kebutuhan dan tuntutan industri sekarang ini. Munculnya karier-karier tersebut juga di ikuti dengan kemunduran beberapa karier, teller bank digantikan oleh ATM dan penggunaan drafter dikurangi secara drastis oleh CAD (Computer Assisted Design). Bahkan sekarang penggunaan drafter dapat semakin berkurang lagi akibat munculnya BIM (Building Information Modelling). Kurikulum yang kaku, mendidik mahasiswa untuk mengikuti pekerjaan yang ke depannya belum tentu ada dan tidak bisa mengantisipasi pekerjaan, trend serta teknologi yang akan datang.

Yang kedua, karena sifat kurikulum yang kaku, konsepsi pengetahuan yang ada di kurikulum harus diterima oleh mahasiswa sebagai standar pendidikan yang tertinggi, tanpa ada kemungkinan untuk melakukan inovasi. Akibatnya, kreativitas, bakat serta minat dari mahasiswa yang tidak di akomodasi oleh kurikulum tidak dapat dikembangkan dan dengan terpaksa harus dibuang. Padahal justru di era disrupsi ini, inovasi yang muncul dari kreativitas dan bakat minat mahasiswa perlu dikembangkan karena hal-hal tersebut merupakan senjata utama bagi mahasiswa menghadapi era VUCA (Volatile, Uncertain, Complex and Ambiguous) ini.

Ketiga, kurikulum pendidikan yang didesain menempatkan dosen sebagai pusat pengetahuan tertinggi dan menempatkan mahasiswa sebagai pendengar saja sudah tidak bisa berlaku lagi. Munculnya internet membuat mahasiswa dapat secara mandiri mengakses pengetahuan dengan skala yang sebelumnya tidak ter-bayangkan sehingga memungkinkan bagi mereka untuk mengetahui apa yang tidak diketahui oleh dosen mereka, meruntuhkan monopoli pengetahuan dan hierarki pengajar di kelas. Peran dosen sebagai ‘server’ informasi tunggal, sudah digantikan dengan server-server di internet.

Kurikulum yang didesain dengan pola pikir kaku dari atas ke bawah tidak relevan lagi di era disrupsi 4.0 ini.  Pola kurikulum yang sekarang ini, mematikan kemungkinan inovasi, inisiatif, dan kreativitas mahasiswa, padahal pendidikan seharusnya menjaga dan mengembangkan keinginan belajar dari mahasiswa yang mereka punyai sejak lahir (W. Edwards Deming) serta memungkinkan mereka membangun kesadaran kritis dan mampu untuk berkarya (Paulo Freire).

Kampus Merdeka sebagai dasaran Kampus 4.0

Kebijakan Kampus Merdeka yang dipaparkan oleh Mendikbud Nadiem Makarim pada 24 Januari lalu merupakan langkah pertama yang baik untuk menuju kampus 4.0. Selain membebaskan dosen dari beban-beban administratif dan menambahkan tantangan bagi kampus untuk berkolaborasi dengan institusi internasional, kampus merdeka memberikan kebebasan bagi mahasiswa untuk menjadi mahasiswa merdeka. Merdeka untuk menemukan potensi serta bakat minatnya sendiri, dan mengembangkannya menjadi suatu karya lewat cara yang dia pilih sendiri.

Kampus merdeka memungkinkan terjadinya pendidikan yang hyper-personalized. Mahasiswa yang memiliki jiwa bisnis tinggi sekarang memiliki pilihan untuk melakukan kegiatan wirausaha untuk pemenuhan SKS kuliahnya, dan tidak dikekang dengan pilihan SKS yang sebelumnya terbatas. Pengotakan batasan-batasan ilmu dalam lingkup program studi pun bisa dilewati lewat kebebasan mengambil SKS dari program studi yang berbeda dari yang ditempuhnya. Tidak lagi mahasiswa terkungkung dengan konsep pendidikan yang kaku, tetapi mahasiswa bebas menentukan apa arti ‘pendidikan’ bagi dirinya sendiri dan menentukan jalannya sendiri untuk memaksimalkan potensi serta bakat minatnya.

Tidak hanya mahasiswa saja yang mengalami perubahan, tetapi juga dosen mengalami perubahan peran. Dosen perlu berubah menjadi dosen penggerak. Fungsi utama dosen bukanlah sekadar mendepositokan ilmu, tetapi belajar dan berkembang bersama dengan mahasiswanya (Freire). Dosen tidak bertindak sebagai server belaka saja, tetapi turut bertindak menciptakan sintesis pengetahuan baru. Dosen perlu membimbing setiap mahasiswanya secara afektif ke pola pikir pertumbuhan (growth mindset) dan punya n-Ach (Kebutuhan akan prestasi) yang tinggi dan sehat sehingga dapat memanfaatkan kebebasan dari kebijakan baru ini secara efektif.

Program Kampus Merdeka yang dibawakan oleh Kemendikbud memungkinkan munculnya pendidikan yang hyper-personalized. Setelah pendidikan hyper-personalized, perlu juga dilakukan hyper-localization dari pembelajaran. Pembelajaran perlu dikontekstualisasi sesuai dengan pengetahuan, kebijaksanaan, dan kebutuhan lokal. Kombinasi dari pendidikan yang hyper-personal dan hyper-local ini akan membentuk Kampus 4.0, di mana setiap mahasiswa bebas mengembangkan potensi dirinya menjadi pemimpin bangsa masa depan.

Dunia Angka

Artikel ini memiliki judul awal Apa Arti Sebuah Angka, dan merupakan pemikiran penulis setelah membaca buku The Metric Society karya Prof. Dr. Steffen Mau, buku tersebut dapat dibeli di Amazon.

Dalam bukunya, The Metric Society (Masyarakat  Metrik), Prof. Dr. Steffen Mau berbicara bagaimana angka mulai memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat di masa kini, bukan hanya dunia fisik saja yang di ukur oleh angka, tetapi dunia sosial mulai diukur oleh angka.

Majalah Inggris ternama The Economist, dalam ulasan buku tersebut, menyebutkan bahwa sejak lahir manusia diukur oleh angka. Ketika bayi lahir ke dunia ini hal yang pertama kali dilakukan oleh dokter dan/atau suster adalah mengukur bayi dari berat badan atau tinginya, dan kemudian menentukan kondisi bayi tersebut sehat atau tidak dari kedua metrik tersebut. Semakin seorang dewasa, pesona dari angka tidaklah berhenti, tetapi hanya mengalami pergeseran indikator. Orang masih menentukan nilai dirinya dari angka tetapi angka tersebut sekarang diturunkan dari jumlah saldo rekening banknya, pengikut akun-akun di sosial medianya, indeks massa tubuh, dan langkah-langkah kaki yang dihitung oleh Apple Watch ataupun oleh Fitbit.

Tidak cukup manusia saja yang diukur oleh angka, tetapi masyarakat, negara, dan organisasi lainnya juga mulai diukur oleh angka. Fenomena yang sebelumnya dianggap tidak terukur secara numerik seperti seberapa bagus suatu universitas atau seberapa sukses suatu negara, mulai diukur dengan angka. Observasi akan fenomena tersebut yang dilakukan oleh Mau menemukan bahwa transformasi kenyataan abstrak menjadi angka-angka numerik ini dilakukan lewat proses kuantifikasi yang dilakukan oleh badan ataupun lembaga nasional ataupun internasional. Hasil-hasil dari proses kuantifikasi ini bisa berdiri sendiri ataupun dikelompokkan sehingga menjadi pemeringkatan di mana tiap angka tersebut bisa dibandingkan.

Indikator yang dipakai untuk mengukur negara bisa berupa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Produk Domestik Bruto (PDB). Universitas-universitas di dunia berlomba-lomba untuk mencapai rangking tertinggi di Times Higher Education (THE) ataupun QS World University Ranking (QS-WUR) Dalam konteks Indonesia sendiri, daya tarik yang kuat akan kuantifikasi menghasilkan Pemeringkatan Universitas oleh Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) dan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI).

Angka-angka, menurut Mau, memiliki suatu faktor ketertarikan yang tinggi karena angka memberikan kepada kita suatu kemampuan untuk melakukan perbandingan secara cepat dan bebas akan konteks. Anda tidak perlu tahu faktor-faktor apa yang mendefinisikan kesuksesan suatu negara ketika Anda bisa melihat langsung IPM negara tersebut dan membandingkannya dengan rata-rata. Suatu negara dianggap sukses ketika memiliki Produk Domestik Bruto yang tinggi. Ditambah lagi bahwa angka, yang dihasilkan dari proses kuantifikasi, dirasa didukung oleh data-data yang objektif sehingga memberikan kesan objektivitas yang mengalahkan pendapat ataupun intuisi manusia yang cenderung subjektif.

Yang menjadi pertanyaan, apakah benar angka numerik itu objektif?

Angka sebagai produk politik

Dalam bukunya, Mau menjelaskan bahwa angka-angka indikator merupakan produk politik dan subjektifitas manusia. Dalam proses kuantifikasi perlu dilakukan proses pemilihan metode dan/atau indikator, di mana dalam pemilihan tersebut sendiri masih dilakukan oleh intuisi dan diatur oleh kepentingan-kepentingan pihak-pihak yang terkait. Selain itu, karena sifatnya yang membatasi konsep abstrak ke beberapa indikator-indikator yang terbatas, Mau menyatakan bahwa proses kuantifikasi tersebut tidak bisa menggambarkan kenyataan sepenuhnya karena ada proses simplifikasi. Yang menjadi problem adalah begitu proses kuantifikasi sudah dilakukan, angka yang dihasilkan dianggap menggambarkan realita secara akurat, objektif dan tanpa cela.

Beberapa dari angka-angka yang ada di sekitar kita perlu dipertanyakan. Tahun lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengklaim bahwa angka kemiskinan Indonesia untuk pertama kalinya ada di bawah 10 persen. Secara sekilas, hal tersebut merupakan prestasi yang membanggakan bagi pembangunan Indonesia pasca kemerdekaan. Tetapi suatu percobaan oleh Vice membawa kita kepada konteks yang lebih luas. Oleh BPS seseorang dianggap miskin apabila memiliki pengeluaran lebih kecil dari Rp. 578 ribu. Ini berarti penghasilan sebesar Rp. 580 ribu seseorang sudah dianggap tidak miskin. Renaldi menyimulasikan betapa sulitnya untuk hidup di Jakarta dengan penghasilan yang lebih besar daripada angka kemiskinan tersebut, dan mempertanyakan batasan Rp. 578 ribu tersebut. Apabila batasan kemiskinan sebesar Rp. 578 ribu tersebut tidak bisa dianggap sepenuhnya merepresentasikan batasan kemiskinan, apakah perhitungan angka kemiskinan Indonesia bisa dikatakan akurat?

Semakin besar PDB suatu negara, maka negara tersebut akan dianggap semakin maju. Tetapi apakah PDB memang mengukur kemajuan suatu negara? Robert Kennedy, kakak dari Presiden Amerika John F. Kennedy mengatakan “PDB mengukur segalanya, terkecuali hal-hal yang membuat hidup layak dihidupi”. Artikel WEF oleh David Piling, penulis buku The Growth Delusion: Wealth, Poverty, and the Well-Being of Nations, mengatakan bahwa PDB tidak memperhatikan pertumbuhan kualitas dengan baik, tetapi terfokus pada pertumbuhan kuantitas saja. Ekstremnya, menurut Piling, PDB lebih memperhatikan dan mencatat pertumbuhan ekonomi akibat jatuhnya pesawat, daripada peningkatan kualitas keamanan pesawat, karena dengan jatuhnya pesawat akan ada produksi pesawat baru yang dibutuhkan. Sebagai catatan, negara seperti Bhutan dan Selandia Baru sudah meninggalkan PDB dengan indeks-indeks lain yang mengukur kebahagiaan.

Ke dalam ranah lokal, kita dapat melihat secara intens kuantifikasi dan pemeringkatan perguruan tinggi yang dilakukan oleh DIKTI serta hasil dari IDI (Indeks Demokrasi Indonesia). Apakah benar indikator yang ditentukan oleh pemeringkatan DIKTI, yang sering berubah setiap tahunnya merupakan representasi yang akurat untuk menentukan kualitas pendidikan tinggi? Urutan rangking universitas dalam pemeringkatan DIKTI sering kali berbeda dengan rangking internasional oleh THE dan QS-WUR. Dalam indeks IDI, demokrasi Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2017 ke 2018, tetapi pada saat yang sama data indeks demokrasi dari Freedom House menunjukkan bahwa indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan.

Ini semua bukan berarti kita harus meninggalkan kuantifikasi. Peter Drucker menuliskan “Apa yang dapat diukur dapat dimanajemen”. Dan apa yang dapat dimanajemen, bisa dikembangkan dan di inovasi dengan lebih mudah. Kita hanya perlu menyadari bahwa angka ataupun indikator lainnya yang tidak bisa kita telan mentah-mentah karena dalam setiap angka ataupun indikator ada proses subjektivitas. Tidak bisa kita mengandalkan angka tanpa memperhatikan indikator yang ada, melakukan verifikasi terhadap data (apabila memungkinkan), dan melakukan proses kontekstualisasi secara mandiri akan angka tersebut.

Badan pemeringkatan perlu juga untuk membangun kepercayaan dan akuntabilitas akan hasil pemeringkatan. Tidak cukup saja mengumumkan hasil akhir dari skor, tetapi juga menjelaskan secara mendetail metodologi yang dilakukan dan menunjukkan bukti-bukti penilaian indikator sehingga pihak ketiga, masyarakat, bisa melakukan verifikasi independen ataupun audit terhadap hasil-hasil kuantifikasi dan pemeringkatan.

Hello world!

Hello world!, atau dalam Bahasa Indonesia: Halo Dunia!

Selamat datang di Blog saya. Blog ini akan berisi beberapa tulisan saya, yang sayangnya tidak bisa (baca: tidak diterima) di tempat/media lain. Hal yang ditulis akan bervariasi, mulai dari isu politik, pendidikan, ekonomi, teknologi dsb. Saya berharap, tulisan dalam blog ini dapat membantu diskusi-diskusi terkait isu terkini ataupun menambah pengetahuan dari saudara-saudara.

Blog ini mungkin adalah suatu teriakan dari penulis, kepada alam semesta untuk mengetahui bahwa dirinya ada.

I am significant- Calvin and Hobbes comic strip
Cuplikan Komik Calvin and Hobbes, Hak Cipta dimiliki oleh Bill Watterson

Selamat membaca!