Artikel ini memiliki judul awal Apa Arti Sebuah Angka, dan merupakan pemikiran penulis setelah membaca buku The Metric Society karya Prof. Dr. Steffen Mau, buku tersebut dapat dibeli di Amazon.
Dalam bukunya, The Metric Society (Masyarakat Metrik), Prof. Dr. Steffen Mau berbicara bagaimana angka mulai memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat di masa kini, bukan hanya dunia fisik saja yang di ukur oleh angka, tetapi dunia sosial mulai diukur oleh angka.
Majalah Inggris ternama The Economist, dalam ulasan buku tersebut, menyebutkan bahwa sejak lahir manusia diukur oleh angka. Ketika bayi lahir ke dunia ini hal yang pertama kali dilakukan oleh dokter dan/atau suster adalah mengukur bayi dari berat badan atau tinginya, dan kemudian menentukan kondisi bayi tersebut sehat atau tidak dari kedua metrik tersebut. Semakin seorang dewasa, pesona dari angka tidaklah berhenti, tetapi hanya mengalami pergeseran indikator. Orang masih menentukan nilai dirinya dari angka tetapi angka tersebut sekarang diturunkan dari jumlah saldo rekening banknya, pengikut akun-akun di sosial medianya, indeks massa tubuh, dan langkah-langkah kaki yang dihitung oleh Apple Watch ataupun oleh Fitbit.
Tidak cukup manusia saja yang diukur oleh angka, tetapi masyarakat, negara, dan organisasi lainnya juga mulai diukur oleh angka. Fenomena yang sebelumnya dianggap tidak terukur secara numerik seperti seberapa bagus suatu universitas atau seberapa sukses suatu negara, mulai diukur dengan angka. Observasi akan fenomena tersebut yang dilakukan oleh Mau menemukan bahwa transformasi kenyataan abstrak menjadi angka-angka numerik ini dilakukan lewat proses kuantifikasi yang dilakukan oleh badan ataupun lembaga nasional ataupun internasional. Hasil-hasil dari proses kuantifikasi ini bisa berdiri sendiri ataupun dikelompokkan sehingga menjadi pemeringkatan di mana tiap angka tersebut bisa dibandingkan.
Indikator yang dipakai untuk mengukur negara bisa berupa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Produk Domestik Bruto (PDB). Universitas-universitas di dunia berlomba-lomba untuk mencapai rangking tertinggi di Times Higher Education (THE) ataupun QS World University Ranking (QS-WUR) Dalam konteks Indonesia sendiri, daya tarik yang kuat akan kuantifikasi menghasilkan Pemeringkatan Universitas oleh Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) dan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI).
Angka-angka, menurut Mau, memiliki suatu faktor ketertarikan yang tinggi karena angka memberikan kepada kita suatu kemampuan untuk melakukan perbandingan secara cepat dan bebas akan konteks. Anda tidak perlu tahu faktor-faktor apa yang mendefinisikan kesuksesan suatu negara ketika Anda bisa melihat langsung IPM negara tersebut dan membandingkannya dengan rata-rata. Suatu negara dianggap sukses ketika memiliki Produk Domestik Bruto yang tinggi. Ditambah lagi bahwa angka, yang dihasilkan dari proses kuantifikasi, dirasa didukung oleh data-data yang objektif sehingga memberikan kesan objektivitas yang mengalahkan pendapat ataupun intuisi manusia yang cenderung subjektif.
Yang menjadi pertanyaan, apakah benar angka numerik itu objektif?
Angka sebagai produk politik
Dalam bukunya, Mau menjelaskan bahwa angka-angka indikator merupakan produk politik dan subjektifitas manusia. Dalam proses kuantifikasi perlu dilakukan proses pemilihan metode dan/atau indikator, di mana dalam pemilihan tersebut sendiri masih dilakukan oleh intuisi dan diatur oleh kepentingan-kepentingan pihak-pihak yang terkait. Selain itu, karena sifatnya yang membatasi konsep abstrak ke beberapa indikator-indikator yang terbatas, Mau menyatakan bahwa proses kuantifikasi tersebut tidak bisa menggambarkan kenyataan sepenuhnya karena ada proses simplifikasi. Yang menjadi problem adalah begitu proses kuantifikasi sudah dilakukan, angka yang dihasilkan dianggap menggambarkan realita secara akurat, objektif dan tanpa cela.
Beberapa dari angka-angka yang ada di sekitar kita perlu dipertanyakan. Tahun lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengklaim bahwa angka kemiskinan Indonesia untuk pertama kalinya ada di bawah 10 persen. Secara sekilas, hal tersebut merupakan prestasi yang membanggakan bagi pembangunan Indonesia pasca kemerdekaan. Tetapi suatu percobaan oleh Vice membawa kita kepada konteks yang lebih luas. Oleh BPS seseorang dianggap miskin apabila memiliki pengeluaran lebih kecil dari Rp. 578 ribu. Ini berarti penghasilan sebesar Rp. 580 ribu seseorang sudah dianggap tidak miskin. Renaldi menyimulasikan betapa sulitnya untuk hidup di Jakarta dengan penghasilan yang lebih besar daripada angka kemiskinan tersebut, dan mempertanyakan batasan Rp. 578 ribu tersebut. Apabila batasan kemiskinan sebesar Rp. 578 ribu tersebut tidak bisa dianggap sepenuhnya merepresentasikan batasan kemiskinan, apakah perhitungan angka kemiskinan Indonesia bisa dikatakan akurat?
Semakin besar PDB suatu negara, maka negara tersebut akan dianggap semakin maju. Tetapi apakah PDB memang mengukur kemajuan suatu negara? Robert Kennedy, kakak dari Presiden Amerika John F. Kennedy mengatakan “PDB mengukur segalanya, terkecuali hal-hal yang membuat hidup layak dihidupi”. Artikel WEF oleh David Piling, penulis buku The Growth Delusion: Wealth, Poverty, and the Well-Being of Nations, mengatakan bahwa PDB tidak memperhatikan pertumbuhan kualitas dengan baik, tetapi terfokus pada pertumbuhan kuantitas saja. Ekstremnya, menurut Piling, PDB lebih memperhatikan dan mencatat pertumbuhan ekonomi akibat jatuhnya pesawat, daripada peningkatan kualitas keamanan pesawat, karena dengan jatuhnya pesawat akan ada produksi pesawat baru yang dibutuhkan. Sebagai catatan, negara seperti Bhutan dan Selandia Baru sudah meninggalkan PDB dengan indeks-indeks lain yang mengukur kebahagiaan.
Ke dalam ranah lokal, kita dapat melihat secara intens kuantifikasi dan pemeringkatan perguruan tinggi yang dilakukan oleh DIKTI serta hasil dari IDI (Indeks Demokrasi Indonesia). Apakah benar indikator yang ditentukan oleh pemeringkatan DIKTI, yang sering berubah setiap tahunnya merupakan representasi yang akurat untuk menentukan kualitas pendidikan tinggi? Urutan rangking universitas dalam pemeringkatan DIKTI sering kali berbeda dengan rangking internasional oleh THE dan QS-WUR. Dalam indeks IDI, demokrasi Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2017 ke 2018, tetapi pada saat yang sama data indeks demokrasi dari Freedom House menunjukkan bahwa indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan.
Ini semua bukan berarti kita harus meninggalkan kuantifikasi. Peter Drucker menuliskan “Apa yang dapat diukur dapat dimanajemen”. Dan apa yang dapat dimanajemen, bisa dikembangkan dan di inovasi dengan lebih mudah. Kita hanya perlu menyadari bahwa angka ataupun indikator lainnya yang tidak bisa kita telan mentah-mentah karena dalam setiap angka ataupun indikator ada proses subjektivitas. Tidak bisa kita mengandalkan angka tanpa memperhatikan indikator yang ada, melakukan verifikasi terhadap data (apabila memungkinkan), dan melakukan proses kontekstualisasi secara mandiri akan angka tersebut.
Badan pemeringkatan perlu juga untuk membangun kepercayaan dan akuntabilitas akan hasil pemeringkatan. Tidak cukup saja mengumumkan hasil akhir dari skor, tetapi juga menjelaskan secara mendetail metodologi yang dilakukan dan menunjukkan bukti-bukti penilaian indikator sehingga pihak ketiga, masyarakat, bisa melakukan verifikasi independen ataupun audit terhadap hasil-hasil kuantifikasi dan pemeringkatan.