IQ Indonesia yang sedang viral

Beberapa waktu terakhir ini sedang muncul konten viral kalau IQ orang Indonesia adalah 87. Di bawah data tersebut, ditampilkan IQ Gorilla sekitar 75-95. Konklusi nya? Pembuat konten tersebut sekarang mengerti kenapa banyak orang berkomentar di medsos menggambarkan level IQnya.

Pembuat konten dapat data dari mana? Dari Google dong. Kalau hal tersebut ditemukan di Internet, maka pasti benar dong?

Tanpa membahas validitas dari test IQ (Yang sangat banyak diperdebatkan, salah satu tulisan menarik yang kontra akan validitas test IQ adalah dari NN Taleb), kita coba eksplorasi klaim dari konten tersebut. Saya coba kerucutkan klaimnya menjadi 2 klaim utama.

  1. IQ orang Indonesia adalah 87

Membuka artikel yang muncul di Google ketika kita mencari dengan kata kunci IQ Indonesia, maka sebagian besar artikel akan mereferensikan dua buku ini

  1. IQ and Wealth of Nation
  2. IQ and Global Inequality

Membuka IQ and Wealth of Nation (Pratinjau tersedia di Google Books), maka dapat dilihat bahwa buku pertama tersebut menggunakan data dari tahun 1969

Pratinjau Google Books akan Sumber Data dari Buku 1

Untuk buku kedua, saya tidak menemukan versi digitalnya yang tersedia di Internet, tetapi saya menemukan buku dari penulis buku-buku tersebut dengan versi yang lebih baru dan tersedia di Internet. Disana tercantum daftar referensi yang dia pakai untuk ‘menghitung’ IQ Indonesia adalah 87. Data yang terbaru dipakai adalah tahun 1998.

Pratinjau Google Books akan Sumber Data dari Penulis Buku I dan II yang lebih baru

Saya pun mencoba membuka refernesinya dari Hadijaja et al (1998), tersedia di ResearchGate. Artikel tersebut bukan bidang keilmuan saya sehingga saya tidak bisa berkomentar banyak, selain:

  1. Sampel data yang diambil dari daerah yang tidak representatif akan kondisi Indonesia secara seluruhnya (hanya dari dua ‘subdistrict‘ di Jakarta Utara)
  2. Saya tidak menemukan ada angka 87 atau statistik lainnya yang membahas IQ dari skimming cepat artikel.

2. IQ Gorilla adalah 75-95

Klaim kedua dari konten tersebut kemungkinan besar diambil dari artikel Wikipedia akan Koko sang Gorilla. Didapatkan kalau IQ Koko adalah sekitar 70-90. Tapi, perlu dicatat bahwa test IQ tersebut diambil dari Test IQ versi anak-anak bayi/balita. Perlu diketahui bahwa test IQ itu diberikan sesuai dengan usia pengambil test. Tidak bisa hasil test IQ yang diberikan ke Koko disamakan dengan test IQ manusia ataupun anak-anak.

Anyway, perlu diketahui juga bahwa setelah masa balita/anak-anak, kesenjangan pengetahuan/ilmu/kemampuan otak dari manusia dan makluk hidup non-manusia meningkat dengan sangat besar. Saya jujur lupa tahu hal ini dari mana, tapi mungkin dari buku Y.N. Harari, Sapiens. Apabila anda mengetahui informasi yang mendukung/kontra akan pernyataan ini, mohon berkenan menginfokan saya.

Apabila anda ada pendapat/data lain, mohon berkenan menambahkannya di kolom komentar.

Kenapa Spektral Desain pakai 2/3

Gambar 1. SNI 1726:2012

Salah satu hal yang menjadi banyak pertanyaan dari praktisi, akademisi, dan mahasiswa/i Teknik Sipil adalah kenapa di SNI, beban gempa dikalikan 2/3? Kenapa beban gempa yang asli harus ‘direduksi’ dulu dan baru dipakai? Bukankan hal tersebut tidak aman dan tidak konservatif? Sesuatu hal yang sangat ingin kita hindari dalam desain gempa dimana banyak elemen, parameter, dan faktor yang kita tidak ketahui?

(Catatan: Percepatan Spektral bukanlah ‘beban gempa’ secara langsung, tetapi dalam artikel ini artinya disamakan)

Begitu banyak orang mengeluarkan teori dan pernyataan kenapa hal ini terjadi. Tapi, tanpa tahu apa maksud dari sang pembuat, maka interpretasi kita bisa saja salah. Semuanya itu tergantung perspektif.

Source: Ana Haber Gazete (Turkey).  We do not own the rights to this illustration.
Gambar 2. Perspektif
Sumber Gambar: me3project.com; Pencipta Asli: Ana Haber Gazete (Turkey).

Untuk mengetahui jawabannya, maka harus mengacu ke kode yang menjadi acuan SNI 1726:2012, yaitu ASCE 7-10. Tetapi ternyata di ASCE 7-10 sendiri, belum ada jawabannya. Akhirnya untuk mendapatkan jawabannya, kita harus melihat kode dan peraturan yang menjadi acuan dari ASCE 7, yaitu : National Earthquake Hazard Reduction Program (NHERP) Recommended Provisions for Seismic Regulations for New Building and Other Structures [1].

Gambar 3. ASCE 7-10

Di NHERP, bagian yang mengatur kenapa beban gempa dikalikan 2/3 dapat dilihat di Section 11.4.4.

Gambar 4. Peraturan NHERP

Sampai saat ini, belum ada jawaban yang jelas. Tapi berbeda dengan SNI dan ASCE, NHERP memiliki bagian komentar (commentary) yang menjelaskan kenapa bagian-bagian tersebut mengatur suatu hal sedemikian rupa.

Gambar 5. Peraturan NHERP (2)
Gambar 6. Peraturan NHERP (3)
Gambar 7. Peraturan NHERP (4)

Menggunakan Control-F untuk mencari kata kunci ‘two-third’ menghasilkan beberapa penjelasan yang menarik. Gambar 5 menunjukan salah satu penjelasan NHERP terkait konsep MCE (Sm) dan bahwa desain menggunakan 2/3 MCE. Hal yang ‘mungkin’ dapat menjelaskan kenapa 2/3 ada di Gambar 6 dan Gambar 7. Dari kedua penjelasan tersebut, maka ada kemungkinan angka 2/3 dipilih karena pada 2/3 dari MCE, kerusakan komponen non-struktural dapat dicegah.

Apakah mungkin menjawab kenapa perlu dikali 2/3? Kelihatannya belum. Interpretasi sebelumnya masih berasa kurang ‘sreg’. Kemungkinan besar saya malah salah interpretasi karena hanya skimming control-F dari NHERP, sehingga masih bisa ada salah data.

Beberapa pencarian internet pun dilakukan untuk mencari lebih banyak data. Dari pencarian di Internet, ada beberapa sumber yang dapat memberikan kejelasan. Salah satunya adalah diskusi di forum eng-tips.com [2]. Diskusi di [2] cukuplah menarik sehingga saya mendorong anda untuk langsung membacanya,

Penelusuran lebih lanjut (dengan bantuan data dari [2]) membawa saya ke [3], suatu slide dari FEMA (organisasi di US yang membuat NHERP). Bagian yang menarik dari Slide tersebut dapat dilihat di Gambar 8.

Gambar 8. Cuplikan Menarik dari Slide FEMA [2]

Kelihatannya ini adalah jawaban ultimat nya. Peta gempa di Amerika dibuat berdasarkan asumsi gempa yang memiliki kemungkinan 2% terjadi dalam 50 tahun (Periode Ulang : 2475/2500 tahun). Tetapi gempa dari periode ulang 2500 tahun menghasilkan gempa yang angkanya cukup besar dari gempa yang ‘wajar’ diperhitungkan untuk alasan ekonomis. Oleh karena itu, bangunan didesain supaya bisa ‘bertahan’ terhadap gempa dengan periode ulang 475/500 tahun. Tetapi, apabila peta gempa Amerika dibuat berdasarkan gempa periode ulang 500 tahun, maka PGA di pantai timur Amerika (e.g. Charleston) akan begitu rendah sehingga tidak cocok untuk desain. Supaya desain bisa tetap simpel, dan tidak diperlukan 2 peta gempa sekaligus. Maka diputuskan bahwa peta gempa yang dipakai tetap peta gempa dengan desain 2500 tahun, tetapi dikalikan 2/3 supaya nilainya ‘tidak terlalu besar’.

Kenapa 2/3? Slide yang sama pun menjelaskan. Bangunan diasumsikan memiliki margin keamanan sebesar 1.5 (apabila didesain dengan benar). Sehingga, dengan asumsi lower bound, maka nilai desain gempa paling besar hanya bisa diturunkan 1/3 saja, alias dikali 2/3. Ketika dikalikan 2/3, bangunan yang didesain terhadap response spektra yang lebih kecil, masih bisa bertahan apabila yang terjadi adalah gempa dari response spektra yang lebih besar (MCE). Hal ini juga disinggung oleh slide dari [1]. Hal tersebut seharusnya menjelaskan

a) Kenapa Response Spektra Desain dikecilkan dari Response Spektra Gempa Maksimum (1 Peta Gempa Universal di US)

b) Kenapa penurunannya adalah dilakukan lewat faktor 2/3 (terkait Margin of Safety 1.5)

Gambar 9. Slide dari [1] yang mengungkit 2/3

Daftar Pustaka

[1] Luco, N. (2007, January 18). Ground Motion for Design. Thailand Seismic Hazard Workshop. https://earthquake.usgs.gov/static/lfs/nshm/workshops/thailand2007/070118–Luco_on_Ground_Motions_for_Design(v8).pdf

[2] https://www.eng-tips.com/viewthread.cfm?qid=470317

[3] http://www.ce.memphis.edu/7119/PDFs/FEAM_Notes/Topic05a-SeismicHazardAnalysisNotes.pdf

Berapa Banyak Jumlah Orang yang di-PHK Akibat COVID-19?

Berapa banyak jumlah orang yang di-PHK akibat COVID-19? Berbeda dengan negara lain seperti Amerika Serikat yang mempublikasikan data klaim unemployment benefit hampir mingguan sehingga jumlah orang yang di-PHK pada masa pandemi COVID-19 dapat dikira-kira dengan baik, setahu saya sampai saat ini belum ada single source of truth (Data yang dianggap paling akurat dan benar sehingga dipakai acuan untuk pengambilan keputusan ataupun kebijakan) akan jumlah PHK di Indonesa akan COVID-19. Biasanya data dari BPS digunakan sebagai source of truth, tetapi sampai saat ini BPS belum ada publikasi data pengangguran untuk April 2020. Oleh karena itu, ada beberapa instansi baik negara dan swasta yang menawarkan data pencatatan ataupun perhitungannya sendiri.

(Perlu di ingat bahwa data pengangguran, PHK, dan unemployment benefit memiliki perbedaan, tetapi perbedaan tersebut diluar lingkup dari artikel ini dan dapat dihiraukan dalam konteks artikel ini.)

Data PHK yang dikompilasi dari Media Massa

No.Sumber Jumlah PHKTanggal
1Bappenas2 – 3.7 juta orang12 Mei 2020
2Kemenaker2.9 juta orang (Jumlah Terdata Baik dan Belum Tervalidasi)
1.7 juta (Total Terdata Baik)
1 Mei 2020
3Kadin6 juta orang11 Mei 2020
4Kemenko Perekonomian3.05 juta orangUpdate: 3 Juni 2020
Silahkan Klik “Sumber” untuk membuka Link berita.

Nah, sekarang yang menjadi pertanyaan. Data siapa yang benar? Mungkin data Kadin bisa kita ‘hiraukan’ karena Kadin adalah perkumpulan swasta dan bukan bagian dari pemerintahan. Sehingga ada dua data dari Pemerintah Pusat yang bisa kita ambil. Tapi data dari pemerintah pusat pun mengalami perbedaan. Belum lagi apabila data ini nanti di cross check kan dengan data Provinsi. Pengalaman dari pelaporan data COVID-19 menunjukan bahwa laporan harian terinfeksi COVID-19 dari Pemda, Pemprov, dan Pusat bisa berbeda.

Data yang ada pun sementara ada (setidaknya yang dipublikasikan ke Publik) pun sudah ‘berumur’. Ada perbedaan 1 minggu itu bisa berarti sudah ada ratusan ribu ataupun jutaan orang tambahan yang sudah di PHK.

Perlu di ingat pula bahwa data-data dari sumber di atas kemungkinan besar tidak bisa mencatak ‘PHK’ dari sektor informal secara akurat karena kesulitan mendapatkan data dari sektor informal. Ditambah lagi, data-data diatas kemungkinan besar tidak mencakup orang dengan status ODP (Orang Drop Penghasilan). Dalam kasus tertentu, penghasilan usaha yang turun (ojek online, petani gula dsb), gaji dipotong 50%, THR dicabut ataupun pengurangan jam kerja membuat orang di atas kertas masih mempunyai pekerjaan, tetapi penghasilannya sudah drop sehingga mengalami kesulitan ekonomi.

Perlu diingat, bahwa BPS sempat merilis data pengganguran Indonesia (di bulan Februari) kurang lebih sekitar 6 jutaan. Dengan adanya PHK COVID-19 ini kemungkinan besar jumlah pengangguran sudah berlipat ganda dalam waktu 2 bulan. Dari 5% menjadi 10%.

Satu hal yang pasti, COVID-19 ini sudah menyebabkan setidaknya jutaan orang, apabila bukan puluhan juta orang, mengalami kesulitan ekonomi. Semoga pemerintah, baik dari tingkat pusat, provinsi, dan daerah segera mengambi kebijakan-kebijakan stimulus yang dapat menolong orang-orang yang ter-PHK.

Apabila ada yang mempunyai data yang lebih up-to-date terkait PHK, mohon berkenan membagikannya kepada penulis. Penulis akan menambahkan data tersebut ke dalam tabel.