Artikel ini ditulis pada saat penulis masih merupakan mahasiswa tahun ketiga di Universitas Kristen Petra Surabaya. Pandangan dari Artikel ini belum tentu menggambarkan pandangan penulis yang sekarang ada, tetapi meski demikian artikel ini tetap diputuskan untuk dipublikasikan dalam bentuk aslinya. Menariknya, di dunia era Pandemi COVID-19 ini beberapa Universitas telah menerapkan semester bebas absen. Data dari semester ini memiliki potensi untuk memverifikasi asumsi-asumsi dari penulis.
Hampir setiap mahasiswa pasti pernah mendengarkan rangkaian kata ini: titip absen. Titip absen, atau yang juga dikenal dengan singkatannya yaitu TA, merupakan bagian yang hampir tidak terpisahkan dengan kehidupan kampus. Kuliah memang berbeda dari SMA di mana absensi dilakukan secara ketat sehingga tidak ada cara yang mudah bagi siswa/i untuk melakukan pemalsuan administratif apabila tidak masuk. Kebebasan akademik dan mekanisme perkuliahan menawarkan suatu sistem yang tidak seketat SMA (seperti kebebasan untuk memilih jadwal dan mata kuliah yang ingin diambil), sehingga kecurangan administratif seperti TA dapat dilakukan dengan mudah.
Mengapa mahasiswa mau melakukan tindakan TA? Tentu hal ini tidaklah logis. Mayoritas mahasiswa membayar untuk dapat mengenyam bangku perkuliahan. Mengingat kalimat dari dosen saya, “Kuliah bayar mahal-mahal kok mintanya libur.” Dalam kiasan yang lebih dapat mengerti, hal ini ibarat sudah membeli suatu makanan, lalu membuang makanan tersebut.
Tetapi melihat dari perspektif lain, ada suatu pola pikir yang dapat membuat TA menjadi suatu tindakan logis. Dengan melihat perspektif tersebut, kita akan dapat mengerti bagaimana cara menghadapi TA secara efektif.
Melihat kelas dengan perspektif baru.
Dengan melihat ‘waktu’ sebagai sumber daya, kita dapat melihat perspektif orang yang melakukan TA. Orang akan berusaha semaksimal mungkin untuk menggunakan sumber dayanya sebaik-baiknya agar mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya. Dalam praktiknya, mahasiswa memilih melakukan absen apabila tidak menghadiri kelas tersebut dirasa lebih menguntungkan. Mahasiswa yang melakukan TA merasa bahwa nilai/ keuntungan yang ditawarkan dari menggunakan waktunya untuk kegiatan lain seperti belajar mandiri di luar ruang kelas, mengikuti kegiatan seminar & workshop, mengikuti kepanitiaan dan sebagainya dianggap lebih besar daripada mengikuti kelas.
Dari dalam diri seorang individu, ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembobotan dari nilai/ keuntungan yang didapat. Misalnya motivasi dan determinasi diri yang tinggi. Orang yang termotivasi akan lebih menghargai pembelajaran yang dia dapat dibanding kesenangan sejenak. Tetapi ada juga faktor eksternal yang mempengaruhi pembobotan tersebut. Faktor-faktor tersebut lebih intrinsik dengan pembelajaran yang ada di kelas, yaitu pedagogi dari dosen dan materi dari kelas itu sendiri.
Kualitas dari pedagogi dan materi yang diajarkan menentukan nilai dari kelas. Ada hubungan korelasi positif akan hal tersebut. Dalam kondisi yang ideal dan bebas, dosen akan berusaha terus menerus untuk meningkatkan kualitas dari pedagogi dan materi yang diajarkan dari kelas tersebut sehingga nilai kelas tersebut bertambah, dan dapat menjadi kompetitif terhadap opsi-opsi lain (misalnya, nilai kepuasan dari bermain game). Kondisi seperti ini kita asumsikan sebagai pasar bebas ideal. Tetapi pada kenyataannya, karena aturan dari Universitas yang meminta adanya minimal 75% kehadiran atau absensi, kondisi ideal ini tidak dapat terjadi. Hal ini terjadi karena adanya monopoli akan absensi.
Tanpa ada kualitas pengajaran di kelas pun, permintaan mahasiswa akan absen akan secara natural muncul karena mahasiswa wajib absen. Tidak ada insentif natural untuk meningkatkan nilai dari pengajaran di kelas. Akibatnya nilai yang ditawarkan dari kelas tidak berkembang dan gagal berkompetisi dengan opsi kegiatan lainnya. Sumber daya yang diberikan untuk mengikuti kelas tidak sebanding dengan value yang didapatkan. Lebih baik menghabiskan waktu mengikuti kegiatan lain. Tetapi karena diwajibkan absen 75%, mahasiswa/i harus mengikuti kelas. Karena mengikuti kelas tersebut diwajibkan dan bukan karena prinsip ekonomi dimana sumber daya yang dikeluarkan sebanding dengan apa yang didapatkan, muncul upaya-upaya untuk kembali memaksimalkan keuntungan. Salah satunya adalah lewat tindakan TA.
Solusi untuk menghadapi TA
Kembali lagi, kita dapat mengasumsikan bahwa TA muncul karena adanya value yang didapat dari mengikuti kelas lebih kecil daripada value mengikuti kegiatan lain. Sumber daya yang diberikan untuk mengikuti kelas tidak sebanding dengan value yang didapatkan, maka lebih baik menghabiskan waktu mengikuti kegiatan lain. Tetapi karena diwajibkan hadir 75%, mahasiswa pun harus datang ke kelas. Karena datang ke kelas ini karena sebuah ‘pemaksaan’ yang tidak muncul secara natural dari keinginan mahasiswa untuk mengikuti kelas, mahasiswa pun melakukan tindakan TA.
Memang ada solusi seperti melatih integritas dan meningkatkan motivasi mahasiswa (faktor eksternal yang mempengaruhi nilai). Tetapi solusi tersebut sudah banyak dicoba, mulai dari publikasi pernyataan bahwa titip absen adalah awal dari budaya korupsi, presensi manual oleh dosen sehingga kemungkinan TA pun turun, dll. Tetapi sekali lagi apabila kita melihat dari perspektif yang ada di atas, solusi tersebut belum bisa menanggapi permasalahan utama, yaitu value ataupun kepuasan yang didapatkan dari kelas lebih kecil daripada opsi lainnya.
Menghapuskan kewajiban absen minimal 75% dapat menjadi suatu opsi yang dapat mengurangi TA. Mengapa? Karena bila absen minimal 75% dihapuskan maka ‘mekanisme pasar’ pun dapat terjadi. Karena tidak ada ‘demand’ buatan akan absensi yang disebabkan mahasiswa wajib datang kelas, dosen akan terdorong untuk meningkatkan value ataupun pedagogi pembelajaran di kelas. Apabila sebelumnya yang dilihat hanya faktor mahasiswanya, penghapusan absen akan membuat dosen kembali menjadi faktor.
Memang hal ini dapat menjadi suatu hal yang kontroversial. Tetapi perlu di ingat bahwa mahasiswa yang sudah tidak melakukan TA akan tetap hadir dalam kelas tanpa absensi wajib 75% karena mereka sudah merasa bahwa datang ke kelas merupakan opsi yang terbaik. Solusi ini lebih bersifat mencoba mengobati mahasiswa yang dari awal tidak menganggap kelas merupakan solusi/value yang paling optimal.
Suatu saat, di dunia dimana tidak ada absen wajib, mahasiswa bisa datang ke kelas karena memang mereka merasa bahwa hal itu adalah murni keinginannya.