Kampung adalah Kota Indonesia

Efek dari globalisasi menggeser tempat tinggal manusia dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan (urbanisasi). Indonesia pun tidak luput dari tren global tersebut, tetapi tren urbanisasi di Indonesia menghasilkan suatu fenomena yang unik di Indonesia, yaitu kampung kota. Hampir 70% lahan di kota dipakai oleh kampung. Meskipun kampung adalah produk Indonesia, kampung memiliki konotasi negatif. Di KBBI, kampung didefinisikan sebagai tempat yang dihuni penduduk berpenghasilan rendah dan sebagai daerah terbelakang.

Definisi tersebut ada benarnya, mengingat bahwa mayoritas kampung di Indonesia memiliki masalah kesenjangan infrastruktur dan perekonomian. Tetapi, mereduksi kampung menjadi ‘perkampungan kumuh’ mengerdilkan keIndonesiaan yang sesungguhnya ada di kampung-kampung. Kampung tidak bisa dilihat dari segi infrastruktur fisik dan ekonominya saja, tetapi perlu memperhatikan infrastruktur sosial budayanya juga. Dalam kampung, terdapat nilai ke-Indonesian yang unik serta sulit direplikasi di tempat lain. Kampung merupakan zeitgeist dari Indonesia.

Kampung menawarkan suatu alternatif pembangunan yang semakin relevan bagi Indonesia di era globalisasi ini. Kota masa depan seringkali muncul di pikiran kita sebagai kota-kota yang didesain oleh Le Corbusier. Tetapi pembangunan ala Le Corbusier yang sempat menjadi primadona di megacities Asia seperti Seoul ternyata membunuh urban fabric dari suatu kota lewat homogenitas arsitektur dan hilangnya city at eye level. Berkaca dari hal tersebut, kita perlu sadar bahwa kota-kota kita perlu diubah dari konsep perencanaan high-rise ke konsep pembangunan yang high-density yang memiliki urban fabric kuat. Kampung merupakan solusi konsep pembangunan tersebut.

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, kampung merupakan zeitgeist dari Indonesia. Jiwa-jiwa Keindonesiaan ada di kampung. Mulai dari gotong royong membersihkan got hingga membangun gapura, kepemimpinan dan organisasi lokal lewat karang taruna dan perkumpulan ibu-ibu, dan malam tirakatan menggambarkan betapa hidupnya urban-fabric Indonesia di kampung-kampung. Tetapi pada saat yang sama, bukan berarti pembangunan kampung dapat dibiarkan seperti sekarang ini. Perlu diakui bahwa mayoritas kampung memiliki kualitas kehidupan yang buruk karena sifat kampung yang muncul secara organik serta tidak didesain untuk jangka panjang sehingga tidak bisa mendukung kualitas kehidupan yang tinggi. Supaya kampung bisa menjadi rumah Indonesia yang sesungguhnya, perlu ada konsep pembangunan baru bagi kampung yang sesuai dengan standar pembangunan global yang tertuang pada Sustainable Development Goal.

Perubahan di kampung tidak bisa dilakukan dengan metode gentrifikasi yang bersifat dari atas ke bawah. Perubahan di kampung harus dilakukan dari tingkat paling bawah ke atas. Warga kampung perlu dibina tentang hidup sehat, diberi kesempatan untuk mengakses sanitasi yang layak dan pendidikan yang layak, dan dilihat sebagai subyek, bukan sekadar objek yang ‘abstrak’. Semua pembangunan dari kampung harus melibatkan warga lokal sebagai stakeholder utama.

Pemerintah kota pun perlu berhenti melihat kampung sebagai Kawasan kumuh yang harus dihancurkan, tetapi sebagai kesempatan untuk membangun suatu komunitas yang sustainable secara sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Di kota tempat saya tinggal, pemerintah Kota Surabaya mengadakan lomba kampung green and clean yang membuat kampung-kampung di Surabaya bisa menjadi bersih dan asri. Daerah Putat Jaya, yang dulunya merupakan pusat sentra prostitusi terbesar di Asia Tenggara merupakan contoh pembinaan kampung di Surabaya yang berhasil. Pembinaan dilakukan secara menyeluruh. Warganya diberi kesempatan untuk mendapatkan pembinaan mendirikan UMKM secara holistik, mulai dari produksi hingga marketing. Kampung Putat Jaya juga mendapatkan manfaat dari sinergi Universitas-Pemerintah-Warga. Proyek-proyek abdimas berhasil merubah kampung Putat Jaya yang kelam menjadi kampung warna-warni yang indah. Pembangunan holistik seperti ini, yang menempatkan pembangunan harapan serta pemberdayaan manusia, menempatkan warga sebagai subjek yang dihargai serta bisa diajak bertumbuh bersama dan bukan sekadar proyek bantuan tunai yang rawan dikorupsi, merupakan contoh pembangunan kampung masa depan.

Di era globalisasi ini, pembangunan gaya modern seringkali menghilangkan koneksi diri kita dengan lingkungan kita, sesama kita, dan bahkan diri sendiri. Kampung, yang dibangun dan dibina dengan baik, merupakan suatu metode pembangunan yang bisa menjawab tantangan tersebut karena social fabric yang ada di kampung serta pembangunan kampung yang low-to-mid rise tapi high-density memungkinkan komunitas dapat menjadi hidup dan memanusiakan manusianya. Akan tetapi, perjalanan kampung mencapai hal tersebut masih sangat panjang. Kampung masih perlu dibangun, dibimbing, dan dibina untuk mencapai standar kehidupan modern yang memiliki akses layak ke pendidikan, sanitasi, pekerjaan, dan keadilan sosial. Untuk mencapai hal tersebut, kampung tidak bisa lagi dilihat sebagai sekadar perumahan kampung, tetapi kampung perlu dilihat sebagai zeitgeist dari Indonesia, di mana Indonesia tumbuh, dan di mana Indonesia bisa membangun masa depannya menuju Indonesia SDG 2030.

Kampung merupakan Rumah Indonesia, dan karena itu, Kota Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *