Beberapa waktu terakhir, saya menghabiskan waktu saya dengan membaca buku karangan Eric Reis, The Lean Startup. Buku tersebut membahas terkait pengalaman Ries mendirikan startupnya dia, IMVU. IMVU pertama-tama didesain untuk memberikan 3D Avatar pada program obrolan daring (chat program) seperi Yahoo Messenger, MSN Messenger, ataupun AIM (AOL Instant Messenger). Bagi anda yang tidak tahu ketiga program tersebut, program-program tersebut mirip dengan Discord, Line, dan WhatsApp.
Tim dari Ries dan IMVU mencoba mengembangkan produk sebaik mungkin, mereka berasumsi bahwa para user tidak akan mau menambah program obrolan daring mereka (bayangkan HP anda yang sudah dipenuhi oleh WhatsApp, LINE, Telegram, Signal, apakah masih mau menambah 1 program obrolan daring lagi). Sehingga mereka mengembangkan suatu program mereka untuk dapat terintegrasi ke banyak program obrolan daring. Mereka menghabiskan enam bulan untuk launch, dan produk IMVU yang sudah didesain dengan sedemikian rupa, dengan baik/ well engineered ternyata gagal total. Bukan karena programnya sering error ataupun crash. Tetapi karena tidak ada user.
Kenapa suatu produk yang bagus, tidak ada user nya? Memang ada beberapa kemungkinan seperti program tersebut tidak memiliki marketing yang bagus dan kurang promosi. Tapi Ries menawarkan suatu penjelasan yang menarik. Ketika IMVU mengeluarkan program pertamanya, mereka berteori akan apa yang di sukai oleh para calon pengguna. Apa yang mereka teorikan, ternyata salah besar. Secara fundamental, ide bisnis mereka sudah solid. Para pemakai mereka ternyata cocok dengan konsep 3D Avatar, dan mereka menganggapnya menarik. Tetapi mereka sama sekali tidak mau menggabungkan 3D avatar mereka dengan program program obrolan daring mereka. Asumsi mereka kalau orang tidak mau menambah program obrolan daring, ternyata salah total. IMVU sekarang menjadi program chat 3D avatar yang berdiri sendiri, dan sampai sekarang IMVU masih menjadi kisah sukses startup.
Apa pesan moral dari Kisah Ries dan IMVU? Keluarkan produk anda terlebih dahulu! Mau tidak mau, data dari konsumen merupakan yang nomor 1. Selama tidak ada data dari konsumen, maka anda berteori dan mengasumsikan anda lebih tahu apa yang konsumen anda minta daripada mereka sendiri. Sulit bagi seoarang product manager ataupun entrepreneur untuk memiliki kemampuan tersebut, terkecuali anda Henry Ford, Steve Jobs, atau Elon Musk. Ketiga orang tersebut begitu visioner, sehingga mereka bisa menciptakan masa depan dengan sendirinya. Bagi yang lain, perlu data dari user.
Untuk semua produk yang anda bayangkan atau imajinasikan, coba keluarkan MVPnya (Minimum Viable Product) terlebih dahulu. Dan pelajari reaksi konsumen/data yang anda. MVP bukan berarti bahwa produk anda akan segera langsung dijual, tapi daripada menghabiskan waktu terlalu lama untuk mendesain dan berteori, segera keluarkan prototype pertama dulu yang bisa dipakai dan digunakan oleh User. Dan segera dapatkan data dari prototype tersebut untuk pengembangan produk kedua, ketiga, keempat, dst dst. Perlu di ingat, MVP bukan suatu alasan untuk mengeluarkan produk yang 100% sampah dan tidak bisa dipakai. MVP tetaplah harus fungsional sehingga bisa dipakai untuk mendapatkan data pengembangan ke depannya.
Kalau anda menghabiskan waktu terlalu lama untuk mendesain, berteori, dan mengembangkan terus menerus tanpa mengeluarkan produk ataupun MVP, anda beresiko menjadi seperti kisah sedih ini. Seorang developer mempunyai ide untuk suatu produk web, tetapi merasa bahwa produknya nya belum cukup bagus kalau belum ada mobile apps, akhirnya ia menghabiskan waktunya untuk mengembangkan mobile apps dan teknologi lainnya yang terkait. Hingga waktu dua tahun pun sudah berlalu.
Setelah waktu sekian lama, produk yang dia idamkan-idamkan sudah ada versi beta dan prototypenya, tapi dia tidak mengeluarkan produk tersebut. Suatu saat dia menemukan ada orang lain yang membuat applikasi (sebut saja X) seperti idenya, dan sudah rilis (dan menghasilkan uang). Sang developer pun melihat bagaimana program tersebut memiliki fungsionalitas yang sesuai dengan keinginannya, dan bahkan sampai membayar untuk program tersebut. Program tersebut tidaklah sempurna, masih banyak bug, masih ada masalah yang belum diselesaikan. Tetapi semua itu tidak ada artinya karena program X sudah rilis, dan dia belum. X menang, dia tertinggal dan sekarang menjadi pelanggan program X. Semuanya bisa berubah apabila sang developer mengeluarkan programnya terlebih dahulu (MVP) dan belajar dari data apa yang user mau.
Terinspirasi dari motto SAS (Pasukan Spesial Inggris), Who Dares Win (Siapa yang berani, menang). Saya jadi terinspirasi satu hal: Siapa yang berani mengeluarkan produknya terlebih dahulu dan belajar dari data produk tersebut, Menang.
Efek dari globalisasi menggeser tempat tinggal manusia dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan (urbanisasi). Indonesia pun tidak luput dari tren global tersebut, tetapi tren urbanisasi di Indonesia menghasilkan suatu fenomena yang unik di Indonesia, yaitu kampung kota. Hampir 70% lahan di kota dipakai oleh kampung. Meskipun kampung adalah produk Indonesia, kampung memiliki konotasi negatif. Di KBBI, kampung didefinisikan sebagai tempat yang dihuni penduduk berpenghasilan rendah dan sebagai daerah terbelakang.
Definisi tersebut ada benarnya, mengingat bahwa mayoritas kampung di Indonesia memiliki masalah kesenjangan infrastruktur dan perekonomian. Tetapi, mereduksi kampung menjadi ‘perkampungan kumuh’ mengerdilkan keIndonesiaan yang sesungguhnya ada di kampung-kampung. Kampung tidak bisa dilihat dari segi infrastruktur fisik dan ekonominya saja, tetapi perlu memperhatikan infrastruktur sosial budayanya juga. Dalam kampung, terdapat nilai ke-Indonesian yang unik serta sulit direplikasi di tempat lain. Kampung merupakan zeitgeist dari Indonesia.
Kampung menawarkan suatu alternatif pembangunan yang semakin relevan bagi Indonesia di era globalisasi ini. Kota masa depan seringkali muncul di pikiran kita sebagai kota-kota yang didesain oleh Le Corbusier. Tetapi pembangunan ala Le Corbusier yang sempat menjadi primadona di megacities Asia seperti Seoul ternyata membunuh urban fabric dari suatu kota lewat homogenitas arsitektur dan hilangnya city at eye level. Berkaca dari hal tersebut, kita perlu sadar bahwa kota-kota kita perlu diubah dari konsep perencanaan high-rise ke konsep pembangunan yang high-density yang memiliki urban fabric kuat. Kampung merupakan solusi konsep pembangunan tersebut.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, kampung merupakan zeitgeist dari Indonesia. Jiwa-jiwa Keindonesiaan ada di kampung. Mulai dari gotong royong membersihkan got hingga membangun gapura, kepemimpinan dan organisasi lokal lewat karang taruna dan perkumpulan ibu-ibu, dan malam tirakatan menggambarkan betapa hidupnya urban-fabric Indonesia di kampung-kampung. Tetapi pada saat yang sama, bukan berarti pembangunan kampung dapat dibiarkan seperti sekarang ini. Perlu diakui bahwa mayoritas kampung memiliki kualitas kehidupan yang buruk karena sifat kampung yang muncul secara organik serta tidak didesain untuk jangka panjang sehingga tidak bisa mendukung kualitas kehidupan yang tinggi. Supaya kampung bisa menjadi rumah Indonesia yang sesungguhnya, perlu ada konsep pembangunan baru bagi kampung yang sesuai dengan standar pembangunan global yang tertuang pada Sustainable Development Goal.
Perubahan di kampung tidak bisa dilakukan dengan metode gentrifikasi yang bersifat dari atas ke bawah. Perubahan di kampung harus dilakukan dari tingkat paling bawah ke atas. Warga kampung perlu dibina tentang hidup sehat, diberi kesempatan untuk mengakses sanitasi yang layak dan pendidikan yang layak, dan dilihat sebagai subyek, bukan sekadar objek yang ‘abstrak’. Semua pembangunan dari kampung harus melibatkan warga lokal sebagai stakeholder utama.
Pemerintah kota pun perlu berhenti melihat kampung sebagai Kawasan kumuh yang harus dihancurkan, tetapi sebagai kesempatan untuk membangun suatu komunitas yang sustainable secara sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Di kota tempat saya tinggal, pemerintah Kota Surabaya mengadakan lomba kampung green and clean yang membuat kampung-kampung di Surabaya bisa menjadi bersih dan asri. Daerah Putat Jaya, yang dulunya merupakan pusat sentra prostitusi terbesar di Asia Tenggara merupakan contoh pembinaan kampung di Surabaya yang berhasil. Pembinaan dilakukan secara menyeluruh. Warganya diberi kesempatan untuk mendapatkan pembinaan mendirikan UMKM secara holistik, mulai dari produksi hingga marketing. Kampung Putat Jaya juga mendapatkan manfaat dari sinergi Universitas-Pemerintah-Warga. Proyek-proyek abdimas berhasil merubah kampung Putat Jaya yang kelam menjadi kampung warna-warni yang indah. Pembangunan holistik seperti ini, yang menempatkan pembangunan harapan serta pemberdayaan manusia, menempatkan warga sebagai subjek yang dihargai serta bisa diajak bertumbuh bersama dan bukan sekadar proyek bantuan tunai yang rawan dikorupsi, merupakan contoh pembangunan kampung masa depan.
Di era globalisasi ini, pembangunan gaya modern seringkali menghilangkan koneksi diri kita dengan lingkungan kita, sesama kita, dan bahkan diri sendiri. Kampung, yang dibangun dan dibina dengan baik, merupakan suatu metode pembangunan yang bisa menjawab tantangan tersebut karena social fabric yang ada di kampung serta pembangunan kampung yang low-to-mid rise tapi high-density memungkinkan komunitas dapat menjadi hidup dan memanusiakan manusianya. Akan tetapi, perjalanan kampung mencapai hal tersebut masih sangat panjang. Kampung masih perlu dibangun, dibimbing, dan dibina untuk mencapai standar kehidupan modern yang memiliki akses layak ke pendidikan, sanitasi, pekerjaan, dan keadilan sosial. Untuk mencapai hal tersebut, kampung tidak bisa lagi dilihat sebagai sekadar perumahan kampung, tetapi kampung perlu dilihat sebagai zeitgeist dari Indonesia, di mana Indonesia tumbuh, dan di mana Indonesia bisa membangun masa depannya menuju Indonesia SDG 2030.
Kampung merupakan Rumah Indonesia, dan karena itu, Kota Indonesia.
Artikel ini merupakan cuplikan dari Jurnal yang kami bawakan di Konferensi Service-Learning Asia-Pasifik ke Tujuh, di Singapore University of Social Science pada tahun 2019. PDF lengkap dari jurnal tersebut dapat dilihat disini. Jurnal ini membahas terkait inisiasi dari program Pengabdian Masyarakat dengan (SL) Google Earth yang dilakukan oleh Universitas Kristen Petra (UK Petra) dan Yayasan Indonesia Sejahtera Barokah (YISB). Ditulis dengan gaya yang lebih personal, blog ini mencoba menceritakan munculnya SL Google-Earth tersebut dalam Bahasa Indonesia.
Kesenjangan Pendidikan dan Sekolah Pra-Sejahtera
Bukan rahasia lagi bahwa ada kesenjangan yang begitu besar di dunia pendidikan di Indonesia. Beberapa Universitas sudah menjadi World Class University dengan rangking yang begitu tinggi di Times Higher Education dan QS, sementara beberapa universitas memiliki akreditasi pas-pasan atau bahkan tidak terakreditasi sama sekali. Untuk jenjang pendidikan yang lain juga sama. Ada SMA, SMP, ataupun SD yang sudah secara rutin mencetak juara-juara lomba internasional, dan ada juga sekolah-sekolahan yang kondisinya masih belum optimal.
Keluar dari jalan-jalan utama Thamrin (Jakarta) dan H.R. Muhammad, dan masuk ke jalan-jalan kecil. Anda akan menemukan sekolah-sekolah yang kondisinya belum optimal tersebut, yang kondisinya masih pra-sejahtera. Sekolah pra-sejahtera sering memiliki ruangan yang pas-pasan, jumlah guru dan murid yang tidak seimbang, dan kondisi ekonomi-sosial dari siswa-siswa yang belum sepenuhnya merasakan perkembangan perekonomian Indonesia. Apa dampaknya? Mereka belum mendapatkan akses pendidikan yang sudah seharusnya mereka dapatkan. Suatu kesedihan besar bagi bangsa ini untuk melihat para calon pemimpinnya belum mendapatkan pendidikan terbaik yang bisa ada bagi mereka. Tanpa adanya pendidikan yang baik, akses mereka ke perekonomian dan kehidupan yang lebih baik akan terbatas. Oleh karena itu, pemerataan kualitas pendidikan merupakan suatu hal yang harus dikerjakan dan dikerjakan oleh seluruh aspek bangsa.
Awal dari Petra Mengajar
Salah satu kontribusi dari UK Petra untuk membantu permasalahan pendidikan tersebut ada lewat program Google Earth – Petra Mengajar. Program ini muncul lewat apa yang saya bisa katakan, pertemuan yang telah ditentukan oleh semesta itu sendiri. Pada saat itu (Awal tahun 2018), Departemen Matakuliah Umum (DMU) dan Tim Petra Sinergi (TPS) sedang mencari wadah untuk melatih para calon Asisten Tutorial (Astor), pendamping mahasiswa baru UK Petra selama 1 semester, dalam kegiatan pengayaan Tutorial Etika. Menjadi seorang Tutor bukanlah suatu hal yang bisa diajarkan lewat teori, DMU-TPS pun mencari tempat untuk menjadi praktik bagi para Astor tersebut. Di tengah-tengah proses pencarian yang semakin mepet, kami dipertemukan dengan Bapak Yasin Wijaya dari YISB.
Bapak Yasin bersedia untuk membantu kami dengan cara menghubungkan sekolah-sekolah pra-sejahtera yang didampingi oleh YISB untuk menjadi tempat belajar para Astor tersebut untuk mengajar. Tetapi ada satu ‘syarat’, apa yang dilakukan harus hanya bisa dilakukan oleh mahasiswa! Kalau sekadar mengajar matematika atau bahasa, mereka sudah ada guru. Jadi apa yang kami lakukan perlu sesuatu yang benar-benar unik.
Kami pun berpikir keras akan hal tersebut, banyak ide yang dikeluarkan tapi ada satu orang yang mengalami flash of genius dan tiba-tiba berkata, bagaimana kalau mengajarkan Google Earth? Ide yang aneh, tetapi ada benarnya. Zaman sekarang kita melihat teknologi seperti Google Maps dan Google Earth sebagai suatu hal yang biasa. Tetapi bagi siswa-siswa SD, apalagi yang ada di sekolah pra-sejahtera, masih melihat street-view sebagai suatu hal yang magical. Ada suatu digital divide, dan program ini bisa menjembatani jurang digital tersebut. Ide-ide pun mengalir sehabis itu, mulai dari para mahasiswa berakting sebagai pilot untuk mengajak para siswa terbang keliling Indonesia dan bahkan dunia. Tempat-tempat yang dikunjungi mahasiswa dapat menunjukkan secara spesifik keindahan keberagaman dari Indonesia dan dunia internasional. Kami pun sepakat untuk menjalankan program berbasis Google Earth ini, dan pada saat itu lahirlah Google Earth Petra Mengajar.
Petra Mengajar: Secara Ringkas
Kegiatan : Mengajarkan Keberagaman Dunia lewat Google Earth
Target:
1) Membuka wawasan dunia dari para siswa SD.
2) Memotivasi para siswa SD untuk mengeksplorasi dunia.
3) Melatih pemikiran eksploratif dan faktual.
4) Menunjukan keberagaman dan kebhinekaan Indonesia.
5) Menunjukan akses teknologi umum yang tidak tersedia kepada mereka.
Pelaksanaan Petra Mengajar
Melibatkan lebih dari 180 siswa yang terbagi menjadi 40 tim. Perjalanan dari ide menuju realisasi tidaklah mudah. Mulai dari logistik yang perlu disiapkan (Proyektor, kabel listrik dsb), penjadwalan (Jadwal mahasiswa dan jadwal sekolah belum tentu cocok), dan proses mengatur 180 orang secara umum. Tetapi hasilnya pun membahagiakan. Dari penilaian tim YISB di lapangan, ada interaksi yang hangat dan saling membangun antara siswa dan mahasiswa UK Petra.
Perlu di ketahui bahwa mayoritas mahasiswa UK Petra adalah double-minority Tionghua Kristen, dan mereka jarang bersentuhan dengan masyarakat pra-sejahtera. Selain membuka wawasan dari para siswa SD akan Indonesia dan dunia, program Petra Mengajar ini juga membuka wawasan mahasiswa UK Petra akan dunia yang begitu dekat, tetapi asing bagi mereka. Kegiatan ini tidak hanya membuka pikiran, tetapi membangun jembatan antara dua komunitas yang sebelumnya saling tidak mengenal.
Para mahasiswa menjadi sadar akan fakta bahwa sebagai mahasiswa, mereka ‘beruntung’ untuk dapat kuliah dan karena keberuntungan mereka itu ada tugas tambahan bagi mereka untuk turut membangun bangsa. Membangun bangsa mungkin terlihat sebagai suatu hal yang abstrak dan tidak bisa dilakukan oleh mahasiswa. Tetapi ketika mereka melakukan kegiatan Petra Mengajar ini, mereka menjadi tahu bahwa membangun bangsa dimulai dari kampung-kampung Indonesia. Dimulai dari hidup dalam masyarakat multikultural dan toleran. Ketika kami para mahasiswa mengajarkan multikulturalisme dan kekayaan keberagaman Indonesia, mereka sendiri juga mengalami pembelajaran.
Ada dua refleksi mahasiswa yang saya pilih, untuk menggambarkan perasaan mahasiswa setelah mengikuti program Petra Mengajar.
CUPLIKAN REFLEKSI MAHASISWA R-10
Pada awalnya, saya berpikir nanti anak-anak disana akan nakal-nakal dan tidak sopan seperti yang dikatan oleh teman-teman saya yang sebelumnya sudah pernah melayani di SD Islam yang juga terpencil. Jadi saya benar-benar mempersiapkan diri dan hati saya untuk bisa sabar menghadapi mereka. Tetapi sesampainya saya dan teman-teman disana dan bertemu dengan mereka, mereka itu jauh berbeda dengan apa yang saya pikirkan di awal. Mereka semua sopan-sopan, sangat antusias untuk belajar sesuatu yang baru, dan juga menghormati kami yang berbicara di depan dan hal tersebut benar-benar meninggalkan impresi yang baik bagi saya.
Bagi saya, bukan cuma mereka yang belajar sesuatu tetapi kami, terutama saya yang baru pertama kali mengajar di sebuah SD Islam juga mendapatkan pelajaran yang baru bagi hidup saya. Saya belajar bahwa di tengah kekurangannya, masih ada orang-orang yang peduli untuk mendidik anak –anak tersebut dan bahkan, sekolah tersebut memberi reward berekreasi bagi anak-anak yang berprestasi. Saya kagum dengan guru-guru disana yang sungguh mempunyai hati untuk mengajar bukan karena uang. Selain itu, anak-anak disana pun juga sangat antusias untuk belajar ditengah-tengah kekurangan mereka. Sedangkan kita yang sudah disediakan fasilitas yang sangat memadai, kadang-kadang bisa malas untuk menuntut ilmu.
CUPLIKAN REFLEKSI MAHASISWA R-9
Disini kami belajar banyak hal yaitu salah satunya bersyukur. Karena melihat kondisi sekolah yang sangat sederhana, saya sangat bersyukur karena Tuhan mengijinkan saya bersekolah di sekolah yang penuh dengan fasilitas lengkap dan segala kemewahannya. Dari mengajar ini saya juga bisa mengetahui berbagai macam sifat-sifat anak-anak yang berbeda-beda. Saya sangat bersyukur diberi Tuhan kehidupan yang berkecukupan. Oh ya, tenaga kerja disana orangnya sangat baik dan ramah terhadap kami. Kami dijemput didepan gang dan diantar pulang juga didepan gang, sambil kami menunggu supir Grab kami tiba. Ada salah seorang ibu guru yang berkata kepada kami dan perkataannya selalu kami ingat yaitu “ya beginilah menjadi guru, bayaran tidak usah dilihat karena tidak ada apa-apanya, tapi yang kami terima adalah pahala”. Saya menjadi merenungkan bahwa masa depan seseorang itu sangat dipengaruhi oleh mentor mereka, astor mereka dan guru-guru mereka.
Dalam kegiatan ini, saya sendiri pun sempat harus menjadi pengajar dadakan karena ada nya gangguan teknis dari satu tim sehingga perlu pengajar pengganti. Pengalaman tersebut sampai masih teringat. Melihat Google Earth, mereka kagum bisa ‘terbang’ keliling dunia. Mereka di kelas pergi terbang melihat Monas, Istana Bogor, Kabba dan menara Eiffel. Satu hal yang paling saya tidak bisa lupakan adalah ketika kami melakukan ‘landing’ dengan cara street-view ke sekolah mereka. Terdengar suara ‘Wow!’ yang di ikuti dengan tepuk tangan. Di sini saya melihat bagaimana teknologi, seperti yang dikatakan mendiang Steve Jobs, dapat menjadi magical experience.
Berbagi Kebahagiaan
Adanya refleksi dan perubahan dari para mahasiswa UK Petra, dan respon positif dari para siswa (yang terlihat sangat gembira dalam program ini) serta para guru membuat kami merasa bahwa program ini merupakan suatu program yang telah menjadi berkat bagi bangsa ini. Lewat pertemuan yang diciptakan oleh kegiatan ini, ada pertukaran kebahagiaan dan dunia. Program dengan basis Google-Earth ini, juga dirasa bisa menjadi contoh percontohan pengabdian masyarakat sederhana yang inovatif yang dapat dilakukan bagi para mahasiswa.
Memang perlu disadari, bahwa untuk mengukur keberhasilan program ini secara objektif perlu dilakukan assesment untuk mengukur apakah wawasan dunia ataupun sifat mulkulturalisme mereka sudah meningkat. Tetapi kami pada waktu itu tidak melakukan pre-test dan post-test ataupun membuat group kontrol. Sehingga tidak bisa dilakukan assesment yang akurat. Mengingat bahwa yang diukur adalah anak SD, kami rasa bahwa assesment yang ada sekarang dan siap digunakan pun belum bisa mengukur anak SD dengan baik, sehingga kami lebih mengunakan evaluasi subjektif dari para pengajar dan guru sebagai acuan keberhasilan.
Program Petra Mengajar yang pertama kali diadakan di tahun 2018 itu merupakan suatu kesuksesan besar. Dan di luar konteks Petra Mengajar, ternyata program ini merupakan hari pertama dari kerja sama UK Petra – YISB untuk terus menerus bekerja dan berkarya bagi bangsa. Dari Petra Mengajar, hingga Petra bagi Bangsa.
Terima Kasih
Bapak Yasin Wijaya, selaku Ketua dari YISB yang memungkinkan semua hal ini terjadi.
Bapak R. Arja Sadjiarto, selaku Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan UK Petra yang telah mengarahkan dan melindungi keberlangsungan program ini.
Ibu Ekadewi Handoyo, selaku Ketua dari DMU UK Petra yang membantu pelaksanaan program ini.
Seluruh staff, PIC, dan pengajar dari YISB yang sudah turut serta menjadi bagian dari Program Petra Mengajar.